“Agama Asli” Indonesia dan Perkembangannya dari Masa Ke Masa*)
oleh: K.P. Sena Adiningrat
*) Tulisan ini
merupakan Keterangan Tertulis Saksi Ahli dalam Sidang Perkara Nomor
140/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965
tentang Pencegahan dan Penyalahgu-naan/Penodaan Agama” di Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia, di Jakarta, 24 Maret 2010.
1. Prawacana
Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang
Pencegahan dan Penyalahgunaan/ Penodaan Agama – ter-lepas dari maksud
untuk menjaga dan melindungi kelu-huran nilai-nilai agama − kenyataannya
jelas-jelas me-ngandung diskriminasi terhadap agama-agama tidak resmi,
khususnya Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa. Penjelasan
Pasal 1 undang-undang ini jelas hanya memprioritaskan 6 agama yang
diakui pemerintah, sekali-gus mendapat bantuan dan perlindungan, yaitu
Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Kongfusius. Sedang-kan
agama-agama lain, misalnya Yahudi, Sarazustrian, Shinto, Thaoism,
sekalipun tidak dilarang tetapi terkesan dinomor duakan, seperti tampak
pada rumusan “…dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan
perundang-undangan lainnya”.
Ada lagi penjelasan Undang-undang ini yang jelas-jelas merendahkan eksistensi aliran kepercayaan yang ber-bunyi: Terhadap
badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkan kearah
pandangan yang sehat dan ke arah Ketuhanan Yang Maha Esa. Ungkapan
ini jelas-jelas menempatkan para penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa seolah-olah mereka menjadi “objek binaan”, karena karena
pandangannya tidak sehat dan tidak mengarah kepada Ketuhanan Yang Maha
Esa. Bahkan dalam Penjelasan Umum angka 2, disebutkan bahwa kelahiran
undang-undang ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan “… bahwa pada
akhir-akhir ini hampir di seluruh Indonesia timbulnya aliran-aliran dan
organisasi-organisiasi kebatinan/kepercayaan masyara-kat yang
bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum agama”. Terkesan bahwa
tolok ukur “ajaran-ajaran dan hukum agama” yang dimaksud di sini adalah
agama-agama resmi yang diprioritaskan negara (Penjelasan pasal 1), dan
aliran-aliran tidak resmi (termasuk yang muncul dari salah satu agama)
harus tunduk kepada definisi dari agama-agama resmi.
Karena itu, agama-agama resmi itu perlu
dijaga dengan Pasal 1 Undang-undang ini, dimana “penafsiran yang
berbeda” dan “membuat kegiatan keagamaan yang menyerupai” dari
agama-agama resmi tersebut dianggap sebagai delik penodaan agama. Inilah
letak masalahnya, siapakah yang harus menentukan standarisasi tafsir
agama, atau siapakah yang berhak menentukan salah atau benarkah suatu
keyakinan? Jadi, sama sekali bukan menyetujui agama dinodai, tetapi
masalahnya pada kriteria penodaan agama dalam undang-undang ini
didominasi oleh agama-agama yang diakui pemerintah. Kembali kepada
eksistensi aliran kepercayaan yang terdiskriminasi, selanjutnya
Penjelasan Umum angka 2 juga menyebutkan: “Di antara
ajaran-ajaran/peraturan-peraturan pada pemeluk aliran-aliran tersebut
sudah banyak yang menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah
persatuan nasional dan menodai agama”. Sejarah membuktikan justru
ekstrimisme yang membahayakan persatuan nasional sering tumbuh subur
dalam agama-agama resmi, bukan kepercayaan tradisional.
Sejarah panjang perjalanan bangsa
Indonesia justru menunjukkan bahwa “agama asli” bersikap sangat ramah,
inklusif, dan toleran terhadap agama-agama pendatang. Lalu mengapa yang
jadi “tolok ukur” justru agama-agama pendatang, dan bukan pada keyakinan
tradisional yang memang jarang mendefinisikan atau membuat pembakuan
keyakinan? Di bawah ini akan dibuktikan eksistensi agama asli Indonesia
dan bagaimana perkembangannya dari masa ke masa. Dalam lintas sejarah
dibuktikan bahwa agama-agama pendatang disambutnya ramah, bukan dianggap
sebagai musuh dan ancaman, sebaliknya dihargai, diadap-tasi dan
diterima untuk menghiasai mozaik keyakinan asli yang menyangga dan
mendasarinya.
2. Definisi Agama (Religion)
Sebelum menguraikan apakah yang disebut
“Folk Religion” (agama asli) dan bagaimana perkembangannya dalam
lintasan sejarah bangsa Indonesia, izinkanlah saya menguraikan dahulu
definisi agama itu sendiri dari beberapa bahasa yang akhirnya diserap
dalam bahasa Indonesia.
H. Zainal Arifin Abbas dalam bukunya Perkembangan Pemikiran terhadap Agama, kata “agama” berasal dari bahasa Sanskerta “tidak kacau”: a berarti “tidak”, dan gama berarti “kacau”.[1] Sedangkan menurut P.J. Zoelmulder dan R.O. Robson dalam Kamus Jawa Kuno-Indonesia, kata
“agama” telah diserap dalam bahasa Jawa kuno yang mengandung beberapa
arti: “doktrin atau ajaran tradisional yang suci”, “himpunan doktrin”,
“karya-karya suci”. Dalam makna ini kata agama muncul dalam berbagai
karya sastra Jawa kuna, antara lain: Adiparwa, Wirataparwa, Ramayana, dan sebagai-nya.[2] Tidak jauh berbeda dengan P.J. Zoelmulder, menu-rut L. Mardiwarsito dalam Kamus Jawa Kuna-Indonesia kata
agama berarti: (1) ilmu, ilmu pengetahuan; (2) hukum atau
perundang-undangan; dan (3) agama atau religi. Kata “agama” dalam makna
religi ini misalnya dijumpai dalam Kakawin Negarakertagama (XXV,2): “Mapanji santara widag-dheng agama wruh kawi”. Artinya: “Para panji yang lain ahli dalam pengetahuan agama dan mahir pula dalam kesusas-teraan”.[3]
Kata “agama” memang diserap dari bahasa Sans-kerta: a berarti “tidak” dan gama “bergerak”,
artinya sesuatu yang dianut dan dianggap pasti dan mengikat bagi yang
mempercayainya. Dalam makna seperti ini, dalam bahasa Jawa kuna “agama”
berarti “aturan-aturan hukum” yang salah satu aspeknya “kepastian”.
Karena itu, kitab undang-undang Majapahit yang berlaku pada zaman Prabu
Hayam-wuruk (1350-1389 M) disebut Sang Hyang Agama (nama lain dari Kutaramanawa),[4] dan kitab undang-undang yang berlaku pada zaman Prabu Wikramawardhana (1389-1427 M) disebut Sang Hyang Adi Āgama.[5]
Perlu dicatat pula, bahwa Undang-undang Adi Agama warisan Majapahit ini
sampai sekarang masih diberlakukan di Bali, khususnya berkaitan dengan
tindak pidana adat Lokika Sanggraha yang diatur dalam Pasal 384 Adi Agama jo. Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-undang Nomor 1/Drt/1951.
Ungkapan lain yang diserap dari bahasa-bahasa Barat adalah “Religi”, “Religion”. Kata religi berasal dari bahasa Latin religio yang akar katanya religare yang berarti “mengi-kat”. Jadi, arti “religio” disini adalah way of life lengkap
dengan peraturan-peraturannya tentang kebaktian dan kewajibannya,
sebagai alat untuk mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam
relasinya dengan Tuhan, sesama manusia dan alam semesta.[6]
Sedangkan dalam bahasa-bahasa semitik di
Timur Tengah, “agama” disebut dalam bahasa Arab “Dîn”, yang sering
dimaknai sebagai lembaga ilahi yang memimpin manusia untuk mencapai
keselamatan dunia dan akhirat. Terlepas dari makna syar’i dalam konteks Islam, kata Arab dîn ternyata cognate dengan bahasa-bahasa semitik: danu (Akkadia), den (Ibrani), dîn/dîna (Aramaik/Suryani) yang berarti “religion”, “cult”.[7] Selain itu dalam bahasa Ibrani dan Aramaik, kata den juga berarti “pengadilan”, misalnya seperti ungkapan Ibrani: Yom ha-Den (hari Pengadilan), yang sejajar juga dengan bahasa Arab: Yaum ad-dîn (hari pembalasan/ hari pengadilan).[8] Selain kata din, dalam ba-hasa Arab juga dikenal kata Millah, yang juga sejajar dengan bahasa Aramaik Milta (firman, kata). Sekali lagi, terlepas dari makna syar’i-nya, kata Arab millah juga
berkaitan dengan “ketaatan”, “kepasrahan” manusia kepada Allah, yang
dalam agama-agama semitik diteladankan dari sosok kepasrahan Ibrahim
kepada Sang Pencipta (Abraham), yang dijuluki “Bapa orang-orang beriman”
(Arab: Abu al-Mu’minin, Ibrani: Ab ha-Ma’a-minim) dalam Yudaisme, Kristen dan Islam.[9]
Dari ungkapan-ungkapan berbagai bahasa
di atas, maka dapat disimpulkan bahwa agama atau religi mengan-dung baik
unsur “pengabdian”, “kepasrahan” − sebagai kata kerja − maupun
“sekumpulan ajaran yang dianggap benar” − sebagai kata benda. Yang
pertama “agama” se-bagai gerak hati dan religiusitas, yang kedua “agama”
sebagai “ajaran-ajaran baku”, atau “ajaran-ajaran yang dibakukan” oleh
lembaga keagamaan (the organized religion). Jadi, dalam makna di atas maka apa yang disebut “keper-cayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa” adalah agama (religion) dalam makna yang semurni-murninya secara ilmu agama-agama (Inggris: the sciense of religions, Jerman: Religions-wisseschaft; Perancis: la science de religion).
Bahwa definisi agama atau religion ini
tidak sesuai dengan definisi yang diberikan oleh agama-agama besar
du-nia (Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan sebagainya) ini adalah
masalah lain. Lebih tegasnya, “dîn” atau “millah” dalam Islam, “dîn/dîna” atau “religio”
dalam Kristen, atau “agama”, “dharma”, “dhamma” dalam Hindu dan Buddha
adalah makna teologis yang diberikan oleh agama-agama tersebut terhadap
suatu ungkapan yang secara bahasa ada-lah netral. Padahal soal teologi
atau akidah adalah “wila-yah” keyakinan, dan soal itu di luar wewenang
ilmu agama-agama, yang tidak berpretensi membenarkan atau menya-lahkan
keyakinan suatu agama.
3. Eksistensi “Agama Asli” dan Perkembangannya Dari Masa Ke Masa
Sebelum masuknya agama-agama besar dunia
ke Indonesia, masyarakat Indonesia sudah ber-Tuhan dan menjunjung
tinggi prinsip “Ketuhanan Yang Maha Esa di atas segala-galanya. Di bawah
ini adalah bukti-bukti bahwa prinsip “Ketuhanan Yang Maha Esa”
dijunjung tinggi, dan meskipun agama-agama dalam perjalanan selanjutnya
diterima, tetapi direfleksikan kembali dalam prinsip Ketu-hahan yang
lebih universal, mengatasi “agama-agama ter-organisasi” (organized religions) yang sepanjang sejarah masuk dan diterima ramah oeh bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia dalam lintasan
sejarahnya selama beribu-ribu tahun adalah bangsa yang luwes, toleran
dan terbuka. Sejak awal sejarahnya yang paling dini, pengaruh
agama-agama luar diterima dengan ramah, tetapi direfleksikan kembali
dalam konteks ke-budayaannya sendiri. Beberapa bukti sejarah membuktikan
kesimpulan di atas, antara lain dapat diikuti dari bukti-bukti di bawah
ini:
a. “Agama Asli” Pada Era Pra-Hindu
Prof. Dr. Purbatjaraka mencatat bahwa
jauh sebelum kedatangan Hindu/Buddha sudah mempunyai keyakinan mengenai
Tuhan Yang Maha Esa, dan menyembah-Nya menurut tatacaranya sendiri.
Salah satu sebutan untuk Tuhan dari era pra-Hindu dapat dilacak dari
penggunaan bahasa-bahasa Nusantara asli, sebelum dipengaruhi bahasa
Sanskerta, Arab atau bahasa-bahasa Barat. Salah satu sebutan untuk Sang
Pencipta adalah Hyang (Tuhan, yang diagungkan), “Sang Hyang Tunggal” (Tuhan Yang Maha Esa), dan “Sang Hyang Taya” (Sang Maha Tiada). Maksud-nya “tiada kasat mata namun ada”, kata Jawa kuna ini masih terpelihara dalam bahasa Sunda Teu Aya (tidak ada).[10]
Prof. Mr. Muhammad Yamin dalam bukunya Sapta Parwa
(Jilid II) membuktikan eksistensi keyakinan asli jauh sebelum
kedatangan agama-agama besar dunia, antara lain mengutip ungkapan Van
Vollenhoven: “In den beginne was de magie” (Pada mulanya adalah kesaktian). Ide tentang “alam gaib” yang penuh tuah (Melayu), kacaktyan (Jawa kuna), sati
(Batak), dan lain-lain, menunjukkan ada keyakinan tentang Yang maha
Gaib yang menyebar di seluruh wilayah Nusan-tara. Akar kata
bahasa-bahasa Austronesia tuh, tuah inilah yang menjadi kata Tuhan, sejajar dengan bahasa Nusantara kuna lainnya: Hyang.[11] Kata Hyang (Tuhan) sampai kini masih terpelihara menjadi kata “sembahyang” (Sembah dan Hyang, “menyembah Tuhan”).
J. Ensink, seorang sarjana Belanda,
mendukung ke-simpulan Pigeaud, sarjana Perancis pendahulunya, yang
mencatat salah satu ciri kepercayaan asli Indonesia antara lain
tercermin dalam klasifikasi alam “serba dua” (mono-dualistis): Bapa angkasa-Ibu pertiwi; Nini among-Kaki among, Kiri-Kanan, Kaja-Kelod, dan sebagainya, dimana keduanya berbeda tetapi saling berdampingan secara abadi.[12]
Filosofi inilah yang menyangga pendekatan alam yang serba har-moni,
yang terbukti menjadi tiang penyangga tradisional perekat kebangsaan
kita dari zaman pra-sejarah hingga NKRI. Selanjutnya, kekuatan Yang Maha
tinggi itu sering diibaratkan dengan “gunung”. Simbol keyakinan asli
Indo-nesia ini, meskipun tidak dibuktikan oleh tradisi tertulis tertua
dari Indonesia sendiri, uniknya justru diabadikan dalam syair India Ramayana, berbahasa Sanskerta (150 M) yang berbunyi: “Yavadwipa matikramya sisiro nama parwatah, diwam sprasati srngena Dewa danawasevitah,Etesam giridurgesa prapatesa vanesa cha”
(Di luar pulau Jawa, berdirilah sebuah gunung namanya Sisira, yang
puncaknya bersaju menyaput langit, dikunjungi oleh para dewa dan
danawa).[13]
Jadi, sebelum bangsa India datang ke Nusantara, sudah terdengar dari India sendiri tentang negeri Nusantara dengan gunung Parwata-nya
yang dikunjungi Dewa. Mak-sudnya, gunung yang menjadi simbol
penyembahan kepada Sang Pencipta. Akan dibuktikan dalam tulisan ini
selanjut-nya, bahwa pemujaan kepada Sang Pencipta dengan simbol “gunung
Parwata” ini, masih terus bertahan di tengah-tengah berjayanya agama
Hindu/Buddha pada zaman majapahit. Sebab tenyata Mpu Tantular sendiri
(abad XIV M) bukan pemuja Siwa maupun Buddha, melainkan se-orang yang
memuja kepada Sri Parwata Raja, istilah yang lahir dari local genius bangsa Indonesia pada zamannya. Istilah ini kini sejajar dengan konsep “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
b. “Agama Asli” Pada Era Hindu-Buddha
Pada masa kejayaan
Hindu-Buddha, konsep agama asli secara ramah menyambut kedatangan
Hindu/Buddha. Namun pengaruh Hindu/Buddha ini hanya memperindah mozaik
spiritualitas Nusantara, tetapi sama sekali tidak sampai larut dalam
samudera spiritualitas India. Bahkan sering kali spiritualitas asli
ditempatkan di atas agama-agama India. Ungkapan-ungkapan India sering
dipinjam tetapi disesuaikan dengan alam pikiran asli Indonesia. Beberapa
contoh di bawah ini membuktikannya:
b.1. Zaman Kerajaan Sriwijaya
Prasasti Kedukan Bukit (683 M).
Prasasti yang ber-asal dari kerajaan nasional pertama, yaitu kedatuan
Sriwi-jaya ini, menyebutkan bahwa Dapunta Hyang melakukan “ziarah raja” (siddhiyatra) demi kejayaan Sriwijaya: Dapunta Hyang nayik di samwau manalap siddhiyatra. Artinya: “Da-punta Hyang naik naik ke bahtera pergi menjemput berkah kebahagiaan tuah-kesaktian”. Menurut Mr. Muhammad Yamin, siddhiyatha adalah perjalanan “ngalap berkah” ke-pada kekuatan adikodrati yang disebutnya Hyang (Tuhan Yang Maha Esa).[14] Bahkan dibuktikan bahwa nama Dapun-ta Hyang secara jelas membuktikan pemujaan kepada Sang Hyang (Tuhan) jauh sebelum masuknya pengaruh Hindu/ Buddha.
b.2. Zaman Kerajaan Sunda
Naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian
dari kerajaan Sunda kuno, ditulis kira-kira abad V M. Ketika pengaruh
Hindu dan Buddha mulai masuk, kedua agama disambut ramah: Hongkara namo Siwa (Selamatlah dengan nama Si-wa), dan Sembah ing Hulun di Sanghyang Pancatatagatha (Sembah hamba kepada Sang Panca Tatagata). Keduanya disambut baik, karena “ya eta pahayuon sareanana” (Itu
demi kebaikan semuanya). Meskipun demikian, agama-agama yang datang –
yang diwakili dengan kata “dewata” – di-tempatkan di bawah Hyang (prinsip Ketuhanan universal, penghayatan asli bangsa Indonesia): “…mangkubhumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di Hyang” (Mang-kubumi berbakti kepada Raja, Raja berbakti kepada dewa-dewa, dan dewa-dewa berbakti kepada Hyang/Prinsip Ke-tuhanan yang universal),[15] yang kini paralel dengan istilah “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
b.3. “Agama Asli” Pada Era Kerajaan Mataram Kuno, Kediri, Singasari dan Majapahit
Perkembangan kedua
agama selanjutnya menarik untuk disimak. Hindu, khususnya madzab Siwa
dan Bu-ddha, pada masa-masa sesudah itu sangat menonjol. Pada era
kerajaan Mataram Hindu (Jawa Tengah), kedua agama itu masih terpisah,
berjalan sendiri-sendiri tanpa saling menganggu (co-existence), tetapi pada masa kerajaan-kerajaan Jawa Timur secara bertahap, dari relasi co-exixtence
mening-kat menjadi relasi “pro-existence” (saling ada dan saling
berbagi). Tahap-tahap itu misalnya dapat dibaca pada karya-karya sastra
sebagai berikut:
Dalam Kunjarakarna (abad XI) dari Kerajaan Singa-sari) ditekankan kerukunan antara kedua agama: Tunggal ika kabeh, kami Siwa kami Buddha (Semua menjadi satu, kita yang Siwa, maupun kita yang beragama Buddha),[16] tetapi rupanya masih dalam tahap co-existence sebagai satu kesatuan sosiologis. Sedangkan dalam Sang Hyang Kamahayanikan (abad X, Mpu Sindok) ungkapan: Buddha tunggal lawan Siwa (Buddha dan Siwa itu satu),[17]
mulai merenungkan relasi keduanya secara metafisik. Raja Kertanegara,
pencetus politik persatuan Nusantara, menyebut “Sang Hyang Siwa-Buddha”
dalam praxis Sangkan Paraning Dumadi (asal muasal dan tujuan Kehidupan). Ungkapan Sang Hyang Siwa-Buddha disini dipahami dalam makna prinsip tertinggi Ketuhanan yang Maha Esa, yang mengatasi baik Siwa maupun Buddha itu sendiri.
Puncak dari refleksi mengenai prinsip
universal Ketuhanan Yang Maha Esa yang “beyond religions” (me-ngatasi
agama-agama) ini terjadi pada era kejayaan Maja-pahit. Majapahit adalah
negara nasional kedua, yang jelas-jelas bukan negara Hindu. Sekalipun
sebagian besar masya-rakatnya beragama Hindu, tetapi Majapahit tidak
menja-dikan hukum Hindu sebagai “hukum negara”. Pada era keemasan
Majapahit, prinsip Ketuhahan Yang Maha Esa itu disebut oleh Mpu Prapanca
dan Mpu Tantular sebagai Sri Parwatharaja, yang bukan Siwa dan
bukan Buddha, melainkan mengandung unsur-unsur prinsipil baik Siwa
maupun Buddha. Prinsip Ketuhanan yang lebih universal tersebut dapat
dibaca dalam Kakawin Sutasoma Pupuh 89,5 sebagai berikut:
Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha
wiswa, Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen. Mangkang Jinatwa
kalawan Siwatatwa tunggal Bhinneka Tunggal ika, Tan Hana dharma
mangrwa. Artinya: “Disebutkan bahwa Sang Hyang Buddha dan Sang
Hyang Siwa adalah dua substansi yang berbeda. Keduanya sungguh-sungguh
berbeda, namun bagaimanakah mungkin mengenal sekilas perbedaan keduanya?
Karena hakikat Siwa dan hakikat Buddha adalah tunggal. Berbeda-beda
tetapi satu juga, dan tidak ada kebe-naran yang mendua”.[18]
Siapakah Sri Parwata Raja? Seperti
telah disinggung sebelumnya dalam tulisan ini, Sri Parwata Raja adalah
istilah bagi prinsip “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada zaman Majapahit,
terlepas dari melalui agama-agama India (Siwa, Buddha) atau penghayat
kepercayaan asli (karesian). Bahwa Sri Parwata Raja adalah “prinsip tertinggi, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa”, terbukti dari syair Mpu Pra-panca dalam Negara Kertagama bahwa
Sri Parwataraja ada-lah “Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsep
penyatu nasional, bukan Siwa dan bukan Buddha, melain-kan Sang Hyang Siwa-Buddha, “Pelindung Mutlak” (Natha ning anatha), “Raja dari segalka raja di dunia” (Pati ning Jagad pati), dan “Tuhan dari segala konsep Tuhan personal dalam masing-masing agama (Hyang ning hyang inisthi).[19]
Ungkapan Parwatharaja, Girinatha, Girindra yang semuanya menunjuk kepada “Sang Raja Gunung”, mak-sudnya “Sang Penguasa tertinggi”, berakar pada ungkapan bahasa Nusan-tara Dapunta Hyang
(yang menguasai alam tertinggi). Jadi, kesadaran rohani akan Ketuhanan
Yang Maha Esa sudah ada jauh sebelum kedatangan agama-agama ke
Indonesia. Dan terbukti pula, bahwa kesadaran itu yang memandu bangsa
Indonesia untuk menerima, sekaligus mengolah pengaruh-pengaruh luar,
yang ternyata tidak pernah menenggelamkan jatidiri bangsa kita.
Spi-ritualitas agung Nusantara yang mengatasi aspek lahiriah agama-agama
itu, telah memandu bangsa Indonesia dalam menapaki perjalanan
sejarahnya yang panjang. Prinsip itu pula yang mempersatukan Sriwijaya
dan Majapahit, dan mengantarkan kedua negara nasional tersebut ke puncak
kemegahannya.
b.4. Kerajaan Demak dan Pajang
Kebebasan beragama yang bersumber pada kesa-daran Holistic spirituality ini hilang pada masa Demak dan Pajang, ketika prinsip negara nasional digantikan dengan prinsip “negara agama” (theokrasi).
Bukti bahwa prinsip “Negara agama” yang intoleran dan rawan memecah
belah Nusantara itu, antara lain ditunjukkan dengan “pengadilan atas
keyakinan yang berbeda” berdasarkan tafsir tunggal sebuah (aliran)
agama. Kasus hukuman mati atas Syekh Siti Jenar pada zaman kerajaan
Demak dengan jelas membuk-tikan kebangkrutan sebuah ideologi agama yang
bercorak “imperialisme doktriner” yang kurang memberi tempat pada
keyakinan iman yang berbeda-beda.
Dalam kaitannya dengan paham kebangsaan,
Bung Karno, dalam pidatanya tanggal 1 Juni 1945 ketika meng-usulkan
Dasar negara Pancasila, mengatakan bahwa kita hanya memiliki dua kali
negara nasional (Nationele Staat) sebelum NKRI, yaitu Sriwijaya dan Majapahit.[20]
Karena keduanya bukan “negara agama”, maka keduanya pernah berhasil
mempersatukan Nusantara. Pada masa kedua “negara nasional” sebelum NKRI
ini tidak pernah ada orang yang berbeda dalam formula iman dipidana,
rumah-rumah ibadah dibakar apapun alasannya. Tetapi ketika Demak menjadi
“negara agama” dan filosofi Bhinneka Tunggal Ika diganti dengan Agama ageming aji
(agama raja, agama negara) barulah muncul kasus Syek Siti Jenar, dan
sejak Demak Nusantara terpecah-pecah. Jangankan mem-persatukan
Nusantara, sesama Jawa saja tidak mau menga-kui kedaulatan Demak.
b.5. Kerajaan Mataram
Mataram mulai menyadari kegagalan
ideologi agama, dan mencoba mengembalikan “spirit Majapahit”, namun
gagal dan kalah cepat dengan kekuatan kolonialisme dan Impe-rialisme
Barat. Salah satu indikator kebebasan ber-agama yang mulai dirintis dan
dikembalikan oleh Mataram adalah diampuninya Haji Mutamakin yang
mengajarkan ajaran Manunggaling Kawula-Gusti berdasarkan “Serat Dewa Ruci”, atas laporan dari Ketib Anom yang mewakili Islam Santri. Serat Dewa Ruci adalah salinan dan pengembangan dari naskah Jawa kuna berjudul Nawa Ruci, karya Mpu Siwamurti dari masa akhir Majapahit. Kasus “beda tafsir agama” ini dicatat dalam Serat Cabolek.[21]
Selanjutnya menarik untuk dicatat pula,
bahwa dibiarkannya kedua pendapat berkembang, di kemudian hari
masing-masing telah mengkristal menjadi dua kelom-pok: Santri (Islam ortodoks), dan Abangan-Priyayi (yang cenderung kepada Kejawen). Serat Cabolek
sendiri lebih condong ke pandangan santri, karena itu kita tidak bisa
menyalahkan Haji Muta-makin yang “dituduh mengajarkan aliran sesat”,
tanpa kita mendengar dan membaca sendiri argumentasi teologisnya.
Sinuhun Paku Buwana II tampak-nya tidak suka kepada para ulama yang
berusaha mengadili keyakinan Mutamakin, sehingga Mutamakin dibebaskan
dari tuduhan mengajarkan ajaran sesat.[22]
Kedua paham yang berbeda tersebut akhirnya boleh berkembang. Hal ini
menunjukkan bahwa negara secara bijak mengambil jarak dari soal-soal
yang termasuk dalam ”ruang privat” warga-negaranya.
Bercermin dari “kaca benggala” sejarah
di atas, patut dipertanyakan apakah beberapa kasus pengadilan atas
keyakinan seseorang atau sekelompok orang a la Syeh Siti Jenar
ini akan terus berlangsung, gara-agara negara terlalu turut campur dalam
menentukan sesat tidaknya sebuah aliran agama, seperti tersirat dan
tersurat dari Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1965? Sekali lagi,
dengan mengatakan bahwa undang-undang penodaan agama harus dicabut tidak
berarti bahwa saya menyetujui penodaan terhadap nilai-nilai luhur
agama. Sama sekali bukan, me-lainkan jangan sampai negara terlalu jauh
mencampuri urusan sesat/tidaknya suatu agama atau aliran kepercayaan
yang sepanjang sejarah dari zaman ke zaman selalu tumbuh dalam
masyarakat Indonesia.
4. Mengkritisi unsur-unsur Tindak Pidana Penodaan Agama
Jelaslah bahwa pembatasan terhadap hanya
6 agama yang diakui pemerintah, ditinjau dari sudut ilmu agama-agama −
dan ini jelas di luar kewenangan peme-rintah untuk mengu-rusinya −
jelas-jelas tidak bisa diper-tanggungjawabkan secara ilmiah. Tampak
sekali “definisi agama” yang melatarbelakangi munculnya undang-undang
diskriminatif ini adalah jelas-jelas definisi agama menurut agama
tertentu. Misalnya, syarat-syarat bahwa agama harus mempunyai konsep
Tuhan, Kitab Suci, dan Nabi adalah jelas-jelas definisi Islam.
Diantara agama-agama semitik saja (Yahudi, Islam dan Kristen), konsep
Nabi, Kitab Suci dan pewahyuan saja sudah berbeda, lebih-lebih lagi
agama-agama non-Semitik, seperti Hindu, Buddha, Tao, Kong-hucu, dan
sebagainya.
Agama-agama semitik mengklaim diri
sebagai “agama monoteis”, dan bisa saja menuduh agama lain “politheis”,
atau minimal “kurang monotheis”. Padahal baik tradisi monotheisme,
monisme dan pantheisme semua ada dalam agama Hindu. Sebaliknya, agama
Buddha jelas-jelas ter-paksa menerima syarat harus ber-“Ketuhanan Yang
Maha Esa”, padahal filosofi ajaran Buddha jelas-jelas bersifat non-theis (bukan atheis, melainkan non-theis sebab tidak mengenal konsep Tuhan sebagai Personal God).
Lebih-lebih lagi dalam satu agama, misalnya Kristen/Protestan, ada
lebih dari “satu penafsiran”. Begitu juga dalam Islam, Hindu, Buddha
dan sebagainya. Lalu apabila terjadi lebih dari satu penafsiran
terhadap kitab suci masing-masing, bagaimana harus menerapkan ketentuan
dalam pasal 1 “melakukan penafsiran ter-hadap suatu agama yang berlaku
di Indonesia?”
Ketentuan dalam Pasal 1 Undang-undang
Nomor 1/PNPS/1965 juga bisa menghalangi studi ilmu agama-agama.
Misalnya, dalam Kristen kadang-kadang berkem-bang penafsiran akademis
atas agama Islam. Tentu saja “penafsiran Kristen” atas Islam ini berbeda
dengan Islam. Apakah ini termasuk penodaan agama? Sebaliknya, apabila
seorang teolog Muslim mengembangkan penafsiran atas Kristen dengan
memakai ayat-ayat Alkitab yang jelas-jelas berbeda dengan pandangan
Kristen sendiri. Apakah perbe-daan penafsiran ini juga melanggar
undang-undang peno-daan agama? Kalau dijawab, “Ya!”, berarti Ibnu
Taimiyyah dan Imam al-Ghazali juga bisa dikenakan tuduhan mela-kukan
penodaan terhadap agama Kristen. Karena Ibnu Ta-imiyyah dalam bukunya Al-Jawâb ash-Shahîh li Man Baddala Dîn al-Masîh (Jawaban yang Benar atas orang Yang mengubah agama Kristus),[23] yang menafsirkan ayat-ayat Alkitab berbeda dengan “penafsiran resmi” kalangan Kristen.
Begitu juga dengan Imam al-Ghazali (wafat 1111 M), dalam bukunya Ar-Radd al-Jamîl li Ilahiyyati ‘Isa bi Syarîh al-Injîl (Penolakan Sempurna atas keilahian Yesus berdasar-kan Injil yang Otentik),[24] seharusnya juga bisa dikenakan Pasal 1 Undang-undang Penodaan Agama, karena buku ini berisi penafsiran a la Islam
atas teks-teks Suci Kristen demi mendukung pandangan teologis Islam
sendiri. Kalau kita menengok sejarah agama-agama dan penyiarannya,
perta-nyaan bisa semakin panjang. Misalnya, proses “islamisasi” (yang
bisa disambung dengan “kristenisasi”) cerita-cerita wayang yang
cerita-ceritanya banyak mengadaptasi dari India.
Jangan-jangan penulis “Babad Cirebon” dapat dikenai delik penodaan agama, karena menafsirkan pustaka Kalimasada dengan tafsiran Islam Kalimat Syahadat. Padahal Kalimasada berasal dari bahasa Sanskerta Kalimahosadha (Kali, “zaman Kali”, “zaman Kegelapan”; maha, “besar” dan usadha “penyembuh”), artinya “Penyembuh besar pada zaman Kegelapan”.[25] Keterangan mengenai pustaka Kalimahosada ini dapat dibaca dalam Kakawin Barata Yuddha (syair XLI,5), karya Mpu Sedah (1135-1157 M), seorang pujangga Prabu Jayabaya Kediri, yang berbunyi sebagai berikut:
“….enget ring wekasan Yudhisthira
sukang pinituturan tan dwang sanjata pustaka Kalimahosada rinegepira.
Sampun sida sinidikara dadi tomara mangarab-arab.
Artinya: “Akhirnya Yudistira menemukan
kembali kesadarannya dan ia suka dalam hati, karena ada orang-orang yang
mengingatkannya. Dengan wajar-nya ia memegang senjata pusaka Kalimahosada,
mantera-menteranya diucapkan secara sempurna, sehingga senjata itu
memiliki kekuatan gaib dan menjelma menjadi tombak sakti yang
berkobar-kobar”.[26]
Kalau kita lacak lebih jauh lagi,
sebagaimana disim-pulkan dari hasil penelitian Hazeu, Rassers dan Kruyt,
wayang adalah seni pertunjukan asli Jawa yang berfungsi untuk
penyembahan kepada Sang Pencipta. Pada awal kerajaan Hindu, wayang masih
berfungsi sebagai ritual penyembahan”, sekalipun sudah diisi dengan
cerita-cerita Hindu. Hal ini terbukti dari prasasti Balitung (905 M): “…Si Galigi mawayang bwat Hyang, macarita Bhima ya kumara” (Si Galigi memainkan wayang untuk menyembah Tuhan, bercerita tentang Bhima ketika masih muda).[27]
Apakah memakai pertunjukan wayang Jawa demi menyiarkan prinsip-prinsip
ajaran Hindu dan kemudian dilanjutkan oleh Islam adalah “penodaan
agama”? Pada zaman Islam para wali memakai wayang demi dakwah Islam,
dan kisah-kisah Hindu di-“islam”-kan habis-habisan, sampai-sampai dalam Serat Kanda Bathara Guru (Sang Hyang Siwa), Dewa Pralina da-lam agama Hindu, diidentikkan dengan Iblis, yang mengaku diri Tuhan?[28]
Begitu juga, dalam sejumlah naskah Jawa-Islam dewa-dewa Hindu
diturunkan derajat-nya menjadi ketu-runan Nabi Adam? Bukankah ini
meme-nuhi rumusan delik Pasal 1 Undang-undang a quo: “… atau membuat kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu”?
Memang, bagi orang Muslim dan Kristen,
pertun-jukan wayang hanyalah tontonan, tetapi bagi orang Jawa kuna
adalah kegiatan keagamaan. Jadi, apakah menggu-nakan istilah-istilah
Jawa-Hindu dan menafsirkan dengan menurut pengertian ajaran Islam bukan
merupakan peno-daan agama menurut Penjelasan pasal 2 Undang-undang Nomor
1/PNPS/1965?
“Dengan kata-kata “kegiatan
keagamaan” dimaksudkan segala macam kegiatan yang bersifat keagamaan,
misalnya menamakan suatu aliran dengan agama, mempergu-nakan istilah
dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran kepercayaannya dan
sebagainya (Penjelasan Pasal 2).
Perlu dipertanyakan “menggunakan istilah
dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran kepercayaan-nya”.
Siapakah yang bisa mengklaim bahwa suatu “pola ibadah” dan term-term
keagamaan tanpa pengaruh dari bahasa-bahasa yang digunakan oleh
komunitas agama sebelumnya. Misalnya, membaca Kitab dengan tartil yang dikenal Tilawat Al-Qur’an
dalam Islam, ternyata sebelumnya sudah ada dalam komunitas Kristen
Ortodoks di Timur Tengah dengan sebutan “mulahan Injil”. Dari zaman
pra-Islam sampai sekarang adab pembacaan Kitab Suci ini dikenal di
seluruh gereja-gereja ortodoks, baik di Timur Tengah, Eropa Timur dan
Rusia. Kita semua bisa menyak-sikan di negera-negara Arab, bagaimana
orang Kristen mengajikan Injil sangat mirip dengan umat Islam
mengaji-kan ayat-ayat Al-Qur’an.
Begitu juga pemakaian jilbab sudah dikenal di Code Hamurrabi
(abad XIV SM), yang kemudian dilestarikan oleh orang Yahudi, Kristen
Timur dan kemudian dilanjutkan oleh Islam. Bagi kita yang hidup di
Indonesia, kalau ada orang Kristen membaca Injil dengan dingajikan bisa
dituduh membuat “kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan
keagamaan dari agama itu (Islam)”, padahal di Timur Tengah orang Yahudi,
Kristen dan Islam mempunyai adab ibadah yang hampir sama, karena ketiga
agama itu memang mempunyai akar dan rumpun yang sama.
Khususnya untuk penghayat Kepercayaan
dilarang menggunakan istilah “agama” (setelah istilah yang diambil dari
bahasa Jawa kuna ini mengalami pembakuan oleh pemerintah), secara
historis bisa dipertanyakan: “Siapakah yang lebih dahulu memakai istilah
agama”? Bukankah kata “agama” telah terlebih dahulu diserap dalam
bahasa Jawa kuna, sedangkan kata ini tidak dijumpai baik dalam Injil
maupun Al-Qur’an? Begitu juga soal pembakuan bahwa agama harus mempunyai
konsep “Tuhan”, “Nabi”, “Kitab Suci”, ini benar-benar sebuah bentuk
imperialisme dok-triner yang menggunakan kekuasaan negara, bahkan tidak
sesuai dengan jalannya logika dan fakta sejarah. Sebab faktanya kaum
penghayat mempunyai konsep yang sama sekali berbeda. Orang Jawa tidak
pernah mengenal nabi atau rasul. Kasunyatan Jawi, misalnya, memandang
bahwa ibu kita sendiri adalah utusan Tuhan untuk melahirkan kita. Tentu
saja konsep “utusan” ini sangat berbeda bila dipa-hami menurut logika
agama-agama Yahudi, Kristen dan Islam. Namun paham Kristen atau Islam
ini tentu tidak bisa dijadikan “tolok ukur” untuk menilai keyakinan atau
pandangan lain yang berbeda. Sebab sekali lagi, dalam kon-teks ilmu
agama-agama, Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah “agama
dalam pengertian yang sebenar-benarnya”.
Catatan Akhir:
[1]Zainal Airfin Abbas, Perkembangan Fikiran Terhadap Agama (Medan: Firma Islamiyah, 1957), hlm. 19.
[2]P.J. Zoelmulder dan S.O. Robson, Kamus Jawa Kuna – Indonesia Jilid I (Jakarta: Gramedia Pustaka Sarana, 1997), hlm. 12.
[3]L. Mardiwarsito, Kamus Jawa Kuna-Indonesia (Ende: Penerbit Nusa Indah, 1990), hlm. 12.
[4]Wetboek van Kutaramanawa (disebut juga Lontar “ Āgama“) bahasa Jawa kuna disimpan di Perpustakaan Leiden (Code Asal: G.D. Huet), transliterasi dalam aksara Latin: P.J. Zoetmulder, Koleksi Perpustakaan “Artati”, Map. 83, Universitas Katolik Sanata Dharma, Yogyakarta. Dalam hukum adat Bali, undang-undang Agama termasuk dalam “ Kitab Catur Agama“, untuk kepentingan Raad Kerta buku undang-undang ini pernah dipublikasikan pada zaman kolonial: I Goesti Poetoe Djelantik, Wetboek “ Āgama” in Het Hoog-Balisch en Maleisch Vertaald (Batavia: Landrukkerij, 1918). Undang-undang ini pernah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Slamet Muljana. Lihat: Slamet Mulaya, Perundang-undangan Majapahit (Djakarta: Bhratara, 1967).
[5]Lontar Ādigama, bahasa Jawa kuno. Transliterasi aksara Latin: K. Kaler, Singaraja: Gedung Kirtya, 1949 (Nomor IIa 578). Juga pernah diterbitkan pada zaman kolonial: I Goesti Poetoe Djelantik dan Ida Bagoes Oka, Ādi Āgama: Oud Bausch Wetboek op Last van den Resident van Bali en Lombok in Het Hoog Balisch Vertaald (Batavia: Landrukkerij, 1918).
[6]W.B. Sidjabat, “Penelitian Agama: Pendekatan dari Ilmu Agama”, dimuat dalam Mulyanto Sumardi (ed.), Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1985), hlm. 76-77.
[7]Jane Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of the Qur’an. Vol. IV (Leiden-Boston: Brill, 2004), hlm. 400-401.
[8]Arthur Jefferey, The Foreign Vocabulary of the Quran (Lahore: Al-Biruni, 1978), hlm. 131-133.
[9]Jane Dammen McAuliffe (ed.), Op. Cit., hlm. 401.
[10]R.M. Poerbatjaraka, Kapustakan Jawi (Djakarta-Amsterdam: Penerbit Djambatan, 1954), hlm. 68.
[11]M. Muhammad Yamin, Tata Negara Madjapahit Sapta-Parwa. Jilid I (Djakarta: Penerbit Jajasan Prapantja, 1962), hlm. 65.
[12]J.H.C. Kern dan W.H. Rassers, Ciwa dan Buddha (Jakarta-Leiden: Penerbit Djambatan – KITLV, 1982), hlm. Xx.
[13]Srimad Valmiki-Ramayana. With Sanskrit text and English Translation Part-I:I Aranya-Kanda, Kiskinda Kanda and Sundara Kanda (Gorakhpur, India: Gita Press, 1992), hlm. 1019-1020.
[14]M. Muhammad Yamin, Tata Negara Madjapahit Sapta-Parwa. Jilid II (Djakarta: Penerbit Jajasan Prapantja, 1962), hlm. 71.
[15] I.B. Putu Suamba, Siwa-Buddha di Indonesia (Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan dan Penerbit Widya Dharma, 2007),
[16]Ibid, hlm. 106-107.
[17]Ibid, hlm. 197-198.
[18]J.H.C. Kern dan W.H. Rassers, Op. Cit., hlm. 26. Teks lengkap Sutasoma sudah diterbitkan bilingual: Jawa Kuna dan Indonesia, lihat: Mpu Tantular, Kakawin Sutasoma. Alih Bahasa: Dwi Woro Retno Mastuti dan Hastho Bramantyo (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009).
[19]J.H.C. Kern dan W.H. Rassers, Op. Cit., hlm. xix-xx. Teks lengkapnya lihat: H. Kern, Het Oud-Javaansche Lofdicht Negarakrtagama van Prapanca 1365 AD (Amsterdam: “Hadi Poestaka” Boekh. En Uitg. Mij ‘s-Gravenhage, 1919), hlm. 22.
[20]RM. AB. Kusuma, Lahirnya Undang-undang Dasar 1945. Edisi Revisi (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), hlm. 159.
[21]S. Soebardi, The Book of Cabolek (the Hague: Martinus Nijhoff, 1975), hlm. 35.
[22]Lihat: “Kata Pengantar” buku S. Soebardi dalam bahasa Indonesia. S. Soebardi, Serat Cabolek: Kuasa, Agama, Pembebasan. Pengadilan K.H. A. Mutamakin dan Fenomena Shaikh Siti Jenar. Alih Bahasa: Enoch Mahmoed dan Mahpudi (Bandung: Penerbit Nuansa, 2004), hlm. 14.
[23]Syeikh al-Islâm Ahmad bin ‘Abdul Halim bnu Taimiyyah, Al-Jawâb ash-Shahîh li Man Baddala Dîn al- Masîh. Jlid I-II (Cairo: Dâr Ibnu al-Hisyam, 2003).
[24]M. ‘Abd Allah Sarqawi, Al-Radd al-Jamîl li Ilahiyat ‘Isa bi Syarîh al-Injîl li al-Imâm al-Ghazali (Madinat Nasyr, Mesir: Dâr al-Hidayah, 1986). Roberts Chidiac, Al-Ghazali: Refutation Excellente de la Divinite de Jesus-Christ D’Apres Les Evangiles. Texte Etabli, Traduit et Commente (Paris: Librairie Ernest Leroux, 1939).
[25]Dalam Kakawin Baratayuddha, karya Mpu Sedah (1135-1157), pusaka Kalimahosada adalah milik Prabu Yudistira berwujud tombak yang meyala-nyala, bukan kalimat syahadat seperti tafsiran zaman Islam. Bambang Noorsena, Menyongsong Sang Ratu Adil (Yogyakarta: Yayasan Andi, 2004), hlm. 98.
[26]R.M. Sutjipto Wirjosuparto, Kakawin Barata Yuddha (Djakarta: Penerbit Bhratara, 1968), hlm. 156, 324.
[27]Teks Prasasti Balitung dalam bahasa Jawa kuna dapat dibaca dalam Inscripties van Nederlandsh-Indie, Aflering I (Batavia: Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Weten-schappen, 1940), hlm. 4-7.
[28]S. Padmosukotjo, Silsilah Wayang Purwa Mawa Carita Jilid I (Surabaya: PT. Citra Jaya Murti, 1990), hlm. 11.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar