1. Sejarah Terbentuknya Kitab-kitab Perjanjian Lama
Alkitab
Gereja Katolik terdiri dari 73 kitab, yaitu Perjanjian Lama terdiri
dari 46 kitab sedangkan Perjanjian Baru terdiri dari 27 kitab.
Bagaimanakah sejarahnya sehingga Alkitab terdiri dari 73 kitab, tidak lebih dan tidak kurang ?
Pertama, kita akan mengupas kitab-kitab Perjanjian Lama yang dibagi dalam tiga bagian utama :
• Hukum-hukum Taurat,
• Kitab nabi-nabi, dan
• Naskah-naskah.
Lima
buku pertama : Kitab Kejadian, Kitab Keluaran, Kitab Imamat dan Kitab
Bilangan dan Kitab Ulangan adalah intisari dan cikal-bakal seluruh
kitab-kitab Perjanjian Lama. Pada suatu ketika dalam sejarah, ini
adalah Kitab Suci yang dikenal oleh orang-orang Yahudi dan disebut Kitab
Taurat atau Pentateuch.
Selama lebih dari 2000 tahun,
nabi Musa dianggap sebagai penulis dari Kitab Taurat, oleh karena itu
kitab ini sering disebut Kitab Nabi Musa dan sepanjang Alkitab ada
referensi kepada "Hukum Nabi Musa". Tidak ada seorangpun yang dapat
memastikan siapa yang menulis Kitab Taurat, tetapi tidak disangkal
bahwa nabi Musa memegang peran yang unik dan penting dalam berbagai
peristiwa-peristiwa yang terekam dalam kitab-kitab ini. Sebagai orang
Katolik, kita percaya bahwa Alkitab adalah hasil inspirasi Ilahi dan
karenanya identitas para manusia pengarangnya tidaklah penting.
Nabi
Musa menaruh satu set kitab di dalam Tabut Perjanjian (The Ark of The
Covenant) kira-kira 3300 tahun yang lalu. Lama kemudian Kitab Para Nabi
dan Naskah-naskah ditambahkan kepada Kitab Taurat dan membentuk
Kitab-kitab Perjanjian Lama. Kapan tepatnya isi dari Kitab-kitab
Perjanjian Lama ditentukan dan dianggap sudah lengkap, tidaklah
diketahui secara pasti. Yang jelas, setidaknya sejak lebih dari 100
tahun sebelum kelahiran Kristus, Kitab-kitab Perjanjian Lama sudah ada
seperti umat Katolik mengenalnya sekarang.
Kitab-kitab
Perjanjian Lama pada awalnya ditulis dalam bahasa Ibrani (Hebrew) bagi
Israel, umat pilihan Allah. Tetapi setelah orang-orang Yahudi terusir
dari tanah Palestina dan akhirnya menetap di berbagai tempat, mereka
kehilangan bahasa aslinya dan mulai berbicara dalam bahasa Yunani
(Greek) yang pada waktu itu merupakan bahasa internasional. Oleh karena
itu menjadi penting kiranya untuk menyediakan bagi mereka, terjemahan
seluruh Kitab Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani. Pada waktu itu di
Alexandria berdiam sejumlah besar orang Yahudi yang berbahasa Yunani.
Selama pemerintahan Ptolemius II Philadelphus (285 - 246 SM) proyek
penterjemahan dari seluruh Kitab Suci orang Yahudi ke dalam bahasa
Yunani dimulai oleh 70 atau 72 ahli-kitab Yahudi - menurut tradisi - 6
orang dipilih mewakili setiap dari 12 suku bangsa Israel. Terjemahan
ini diselesaikan sekitar tahun 250 - 125 SM dan disebut Septuagint,
yaitu dari kata Latin yang berarti 70 (LXX), sesuai dengan jumlah
penterjemah.
Kitab ini sangat populer dan diakui sebagai Kitab
Suci resmi (kanon Alexandria) kaum Yahudi yang terusir, yang tinggal di
Asia Kecil dan Mesir. Pada waktu itu Ibrani adalah bahasa yang nyaris
mati dan orang-orang Yahudi di Palestina umumnya berbicara dalam bahasa
Aram. Jadi tidak mengherankan kalau Septuagint adalah terjemahan yang
digunakan oleh Yesus, para Rasul dan para penulis kitab-kitab
Perjanjian Baru. Bahkan, 300 kutipan dari Kitab Perjanjian Lama yang
ditemukan dalam Kitab Perjanjian Baru adalah berasal dari Septuagint.
Harap diingat juga bahwa seluruh Kitab Perjanjian Baru ditulis dalam
bahasa Yunani.
Setelah Yesus disalibkan dan wafat, para
pengikut-Nya tidak menjadi punah tetapi malahan menjadi semakin kuat.
Pada sekitar tahun 100 Masehi, para rabbi (imam Yahudi) berkumpul di
Jamnia, Palestina, mungkin sebagai reaksi terhadap Gereja Katolik.
Dalam konsili Jamnia ini mereka menetapkan empat kriteria untuk menentukan kanon Kitab Suci mereka :
1. Ditulis dalam bahasa Ibrani;
2. Sesuai dengan Kitab Taurat;
3. lebih tua dari jaman Ezra (sekitar 400 SM);
4. dan ditulis di Palestina.
Atas
kriteria-kriteria diatas mereka mengeluarkan kanon baru untuk menolak
tujuh buku dari kanon Alexandria, yaitu seperti yang tercantum dalam
Septuagint, yaitu: Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Sirakh, Barukh, 1
Makabe, 2 Makabe, berikut tambahan-tambahan dari kitab Ester dan
Daniel. (Catatan: Surat Nabi Yeremia dianggap sebagai pasal 6 dari
kitab Barukh). Hal ini dilakukan semata-mata atas alasan bahwa mereka
tidak dapat menemukan versi Ibrani dari kitab-kitab yang ditolak
diatas.
Gereja Katolik tidak mengakui konsili rabbi-rabbi
Yahudi ini dan tetap terus menggunakan Septuagint. Pada konsili di
Hippo tahun 393 Masehi dan konsili Kartago tahun 397 Masehi, Gereja
Katolik secara resmi menetapkan 46 kitab hasil dari kanon Alexandria
sebagai kanon bagi Kitab-kitab Perjanjian Lama. Selama enam belas abad,
kanon Alexandria diterima secara bulat oleh Gereja. Masing-masing dari
tujuh kitab yang ditolak oleh konsili Jamnia, dikutip oleh para
Patriarch Gereja (Church Fathers) sebagai kitab-kitab yang setara
dengan kitab-kitab lainnya dalam Perjanjian Lama. Church Fathers,
beberapa diantaranya disebutkan disini: St. Polycarpus, St. Irenaeus,
Paus St. Clement, dan St. Cyprianus adalah para Patriarch Gereja yang
hidup pada abad-abad pertama dan tulisan-tulisan mereka - meskipun
tidak dimasukkan dalam Perjanjian Baru - menjadi bagian dari Deposit
Iman. Tujuh kitab berikut dua tambahan kitab yang ditolak tersebut
dikenal oleh Gereja Katolik sebagai Deuterokanonika (= second-listed)
yang artinya kira-kira: "disertakan setelah banyak diperdebatkan".
2. Gereja Katolik Mendahului Kitab Perjanjian Baru
Seperti
Kitab-kitab Perjanjian Lama, Kitab-kitab Perjanjian Baru juga tidak
ditulis oleh satu orang, tetapi adalah hasil karya setidaknya delapan
orang. Kitab Perjanjian Baru terdiri dari 4 kitab Injil, 14 surat Rasul
Paulus, 2 surat Rasul Petrus, 1 surat Rasul Yakobus, 1 surat Rasul
Yudas, 3 surat Rasul Yohanes dan Wahyu Rasul Yohanes dan Kisah Para
Rasul yang ditulis oleh Santo Lukas, yang juga menulis Kitab Injil yang
ketiga. Sejak kitab Injil yang pertama yang ditulis oleh Santo
Matius(1*) sampai kitab Wahyu Yohanes, ada kira-kira memakan waktu 50
tahun. Tuhan Yesus sendiri, sejauh yang kita ketahui, tidak pernah
menuliskan satu barispun dari kitab Perjanjian Baru. Dia tidak pernah
memerintahkan para Rasul untuk menuliskan apapun yang diajarkan
oleh-Nya. Dia berkata: "Maka pergilah dan ajarlah segala bangsa" (Matius
28:19-20), "Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku" (Lukas
10:16).
Apa yang Yesus perintahkan kepada mereka persis sama
seperti apa yang Yesus sendiri lakukan: menyampaikan Firman Allah
kepada orang-orang melalui kata-kata, meyakinkan, mengajar, dan
mentobatkan mereka dengan bertemu muka. Jadi bukan melalui sebuah buku
yang mungkin bisa rusak dan hilang, dan disalah tafsirkan dan
diubah-ubah isinya, melainkan melalui cara yang lebih aman dan alami
dalam menyampaikan firman yaitu dari mulut ke mulut. Demikianlah para
Rasul mengajar generasi seterusnya untuk melakukan hal yang serupa
setelah mereka meninggal. Oleh karena itu melalui Tradisi seperti
inilah Firman Allah disampaikan kepada semua generasi umat Kristen
sebagaimana pertama kali diterima oleh para Rasul.
Tidak
satu barispun dari kitab-kitab Perjanjian Baru dituliskan sampai
setidaknya 10 tahun setelah wafatnya Kristus. Yesus disalibkan pada
tahun 33 dan kitab Perjanjian Baru yang pertama ditulis yaitu surat 1
Tesalonika baru ditulis sekitar tahun 50 Masehi. Sedangkan kitab
terakhir yang ditulis yaitu kitab Wahyu Yohanes pada sekitar 90-100
Masehi. Jadi anda bisa melihat kesimpulan penting disini : Gereja
Katolik dan iman Katolik sudah ada sebelum Alkitab dijadikan.
Beribu-ribu orang bertobat menjadi Kristen melalui khotbah para Rasul
dan missionaris di berbagai wilayah, dan mereka percaya kepada kebenaran
Ilahi seperti kita percaya sekarang, dan bahkan menjadi orang-orang
kudus tanpa pernah melihat ataupun membaca satu kalimatpun dari kitab
Perjanjian Baru. Ini karena alasan yang sederhana yaitu bahwa pada waktu
itu Alkitab seperti yang kita kenal, belum ada. Jadi, bagaimanakah
mereka menjadi Kristen tanpa pernah melihat Alkitab? Yaitu dengan cara
yang sama orang non-Kristen menjadi Kristen pada masa kini, yaitu dengan
mendengar Firman Allah dari mulut para misionaris.
3. Gereja Katolik Menetapkan Kitab Perjanjian Baru
Ke-dua puluh tujuh kitab diterima sebagai Kitab Suci Perjanjian Baru baik oleh umat Katolik maupun Protestan.
Pertanyaannya adalah :
• Siapa yang memutuskan kanonisasi Perjanjian Baru sebagai kitab-kitab yang berasal dari inspirasi Ilahi ?
•
Kita tahu bahwa Alkitab tidak jatuh dari langit, jadi darimana kita
tahu bahwa kita bisa percaya kepada setiap kita-kitab tersebut ?
Berbagai uskup membuat daftar kitab-kitab yang diakui sebagai inspirasi Ilahi, diantaranya :
• Mileto, uskup Sardis pada tahun 175 Masehi;
• Santo Irenaeus, uskup Lyons - Perancis pada tahun 185 Masehi;
• Eusebius, uskup Caesarea pada tahun 325 Masehi.
Pada
tahun 382 Masehi, didahului oleh Konsili Roma, Paus Damasus menulis
dekrit yang menulis daftar kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru yang terdiri dari 73 kitab.
Konsili Hippo di Afrika Utara pada tahun 393 menetapkan ke 73 kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Konsili
Kartago di Afrika Utara pada tahun 397 menetapkan kanon yang sama
untuk Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Catatan: Ini adalah
konsili yang dianggap oleh banyak kaum Protestan dan Evangelis
Protestan sebagai otoritatif bagi kanonisasi kitab-kitab dalam
Perjanjian Baru.
Paus Santo Innocentius I (401-417) pada
tahun 405 Masehi menyetujui kanonisasi ke 73 kitab-kitab dalam Alkitab
dan menutup kanonisasi Alkitab.
Jadi kanonisasi Alkitab
secara resmi diputuskan di abad ke empat oleh konsili-konsili Gereja
Katolik dan para Paus. Sebelum kanon Alkitab ditetapkan, ada banyak
perdebatan. Ada yang beranggapan bahwa beberapa kitab Perjanjian Baru
seperti surat Ibrani, surat Yudas, kitab Wahyu, dan surat 2 Petrus,
adalah bukan hasil inspirasi Ilahi. Sementara pihak lain berpendapat
bahwa beberapa kitab yang tidak dikanonisasi seperti: Gembala Hermas,
Injil Petrus dan Thomas, surat-surat Barnabas dan Clement adalah hasil
inspirasi Ilahi. Keputusan resmi Gereja Katolik menyelesaikan hal
diatas sampai 1100 tahun kemudian. Hingga jaman Reformasi Protestan,
tidak ada lagi perdebatan akan kitab-kitab dalam Alkitab.
Melihat
sejarah, Gereja Katolik menggunakan otoritasnya untuk menentukan
kitab-kitab yang mana yang termasuk dalam Alkitab dan memastikan bahwa
segala yang tertulis dalam Alkitab adalah hasil inspirasi Ilahi. Jika
bukan karena Gereja Katolik, maka umat Kristen tidak akan dapat
mengetahui yang mana yang benar.
4. Kitab Vulgate - Karya Santo Jerome
Ketika
Kabar Gembira telah tersebar luas dan banyak orang menjadi Kristen,
merekapun dibekali dengan terjemahan Kitab Perjanjian Lama dalam bahasa
asli mereka yaitu Armenia, Siria, Koptik, Arab dan Ethiopia bagi umat
Kristen purba di wilayah-wilayah ini. Bagi umat Kristen di Afrika
dimana bahasa Latin paling luas digunakan, ada terjemahan kedalam
bahasa Latin yang dibuat sekitar tahun 150 Masehi dan juga terjemahan
berikutnya bagi umat di Italia.
Akan tetapi semua ini akhirnya
digantikan oleh mahakarya yang dibuat oleh Santo Jerome dalam bahasa
Latin yang disebut "Vulgate" pada abad ke-empat.
Pada
masa itu ada kebutuhan besar akan Kitab Suci dan ada bahaya karena
banyaknya variasi terjemahan yang ada. Oleh karena itu sang biarawan,
yang mungkin pada waktu itu adalah orang yang paling terpelajar, atas
perintah Paus Santo Damascus pada tahun 382, membuat terjemahan Kitab
Perjanjian Baru dalam bahasa Latin dan mengkoreksi versi-versi yang ada
dalam bahasa Yunani. Lantas di Bethlehem antara tahun 392-404, dia
juga menterjemahkan Kitab-kitab Perjanjian Lama langsung dari bahasa
Ibrani (jadi bukan dari Septuagint) kedalam bahasa Latin, kecuali kitab
Mazmur yang direvisi dari versi Latin yang sudah ada.
Ini
adalah Alkitab lengkap yang diakui resmi oleh Gereja Katolik, yang
nilainya tak terukur menurut para ahli alkitab masa kini, dan terus
mempengaruhi versi-versi lainnya sampai pada jaman Reformasi Protestan.
Dari Vulgate inilah dihasilkan terjemahan dalam bahasa Inggris yang
terkenal yaitu Douai-Rheims Bible.
5. Hilangnya Kitab-kitab Asli
Hingga
ditemukannya mesin cetak pada tahun 1450, semua Alkitab adalah hasil
salinan tangan yang kita sebut manuskrip. Alkitab lengkap tertua yang
masih ada hingga sekarang berasal dari abad ke-empat, dan isinya sama
dengan Alkitab yang dipegang oleh umat Katolik yaitu terdiri dari 73
kitab. Apa yang terjadi dengan manuskrip-manuskrip asli yang ditulis
oleh para penulis kitab Injil? Ada beberapa alasan akan hilangnya kitab -
kitab asli tersebut :
Beberapa ratus tahun pertama
adalah masa-masa penganiayaan terhadap umat Kristen. Para penguasa yang
menindas Gereja Katolik menghancurkan segala hal yang menyangkut
Kristenitas yang bisa mereka temukan. Selanjutnya, kaum pagan
(non-Kristen) juga secara berulang-ulang menyerang kota-kota dan
perkampungan Kristen dan membakar dan menghancurkan gereja dan segala
benda-benda religius yang dapat mereka temukan disana. Lebih jauh lagi,
mereka bahkan memaksa umat Kristen untuk menyerahkan kitab-kitab suci
dibawah ancaman nyawa, lantas membakar kitab-kitab tersebut.
Alasan
lainnya : media yang dipakai untuk menuliskan ayat-ayat Alkitab,
disebut papirus - sangat mudah hancur dan tidak tahan lama, sedangkan
perkamen, yang terbuat dari kulit binatang dan lebih tahan lama, sulit
didapat. Kedua materi inilah yang dimaksud dalam 2 Yohanes 1:12 dan 2
Timotius 4:13. Umat Kristen purba, setelah membuat salinan Alkitab,
juga tidak terlalu peduli untuk menjaga kitab aslinya. Mereka tidak
beranggapan penting untuk memelihara tulisan-tulisan asli oleh Santo
Paulus atau Santo Matius oleh karena mereka percaya penuh kepada Gereja
Katolik yang mengajarkan lewat Tradisi melalui mulut para Paus dan
para uskup-uskupnya. Umat Katolik tidak melandaskan ajaran-ajarannya
pada Alkitab semata-mata, tetapi juga kepada Tradisi yang hidup, dari
Gereja Katolik yang infallible. ubi Ecclesia, ibi Christus.
6. Alkitab pada Abad Pertengahan
Segenap
umat Kristen berhutang budi kepada para kaum religius, imam, biarawan
dan biarawati yang menyalin, memperbanyak, memelihara dan
menyebarluaskan Alkitab selama berabad-abad. Para biarawan adalah kaum
yang paling terpelajar pada jamannya dan salah satu kegiatan utama
mereka adalah menyalin isi Alkitab sedangkan biara-biara menjadi pusat
penyimpanan naskah-naskah Alkitab ini. Umumnya masing-masing biara-biara
di abad pertengahan memiliki perpustakaan tersendiri. Tidak kurang
dari para raja dan kaum bangsawan dan orang-orang terkenal meminjam
dari biara-biara ini. Para raja dan kaum bangsawan itu sendiri, bersama
para Paus, uskup dan kepala-kepala biara, sering menghadiahkan Kitab
Suci yang diberi hiasan yang indah kepada biara-biara dan gereja-gereja
di seluruh Eropa.
Untuk menyalin satu Alkitab lengkap,
diperlukan sekurangnya 10 bulan tenaga kerja dan sejumlah besar
perkamen yang mahal harganya untuk memuat lebih dari 35000 ayat-ayat
dalam Alkitab. Hal ini menjelaskan mengapa banyak orang biasa tidak
mampu memiliki setidaknya satu set Alkitab lengkap di rumah-rumah
mereka. Mereka biasanya memiliki salinan dari sejumlah pasal dalam
Alkitab yang populer. Jadi kebiasaan memiliki bagian-bagian dari
Alkitab yang terpisah adalah kebiasaan yang sepenuhnya Katolik dan yang
hingga kini masih dilakukan.
Alkitab pada abad
pertengahan umumnya ditulis dalam bahasa Latin. Hal ini dilakukan sama
sekali bukan dimaksudkan untuk menyulitkan umat yang ingin membacanya.
Kebanyakan orang pada masa itu tidak mampu membaca, sedangkan mereka
yang mampu membaca, juga dapat mengerti bahasa Latin. Latin adalah
bahasa universal pada waktu itu. Mereka yang mampu membaca lebih
menyukai membaca Vulgate, versi Latin dari Alkitab. Oleh karena
kenyataan tersebut, tidak ada alasan kuat untuk menterjemahkan Alkitab
ke dalam bahasa-bahasa setempat secara besar-besaran. Namun meski
demikian harap diingat bahwa sepanjang sejarah Gereja Katolik tetap
menyediakan terjemahan Alkitab dalam bahasa-bahasa setempat.
7. Martin Luther dan Alkitab Protestan
Pada
tahun 1529, Martin Luther mengajukan kanon Palestina yang menetapkan
39 kitab dalam bahasa Ibrani sebagai kanon Perjanjian Lama. Luther
mencari pembenaran dari keputusan konsili Jamnia (yang adalah konsili
imam Yahudi, jadi bukan sebuah konsili Gereja Kristen!) bahwa tujuh
kitab yang dikeluarkan dari Perjanjian Lama tidak memiliki kitab-kitab
aslinya dalam bahasa Ibrani. Luther melakukan hal tersebut sebenarnya
karena sejumlah ayat-ayat yang terdapat pada kitab-kitab tersebut
justru mengokohkan doktrin-doktrin Gereja Katolik dan bertentangan
dengan doktrin-doktrin baru yang dikembangkan oleh Martin Luther
sendiri.
Oleh karena alasan yang serupa, Martin Luther juga
nyaris membuang beberapa kitab-kitab lainnya: surat Yakobus, surat
Ibrani, kitab Ester dan kitab Wahyu. Hanya karena bujukan kuat oleh
para pendukung kaum reformasi Protestan yang lebih konservatif maka
kitab-kitab diatas tetap dipertahankan dalam Alkitab kaum Protestan.
Namun demikian, tidak kurang Martin Luther menghujat bahwa surat
Yakobus tidak pantas dimasukkan dalam Alkitab.
Untuk
mendukung salah satu doktrinnya yang terkenal yaitu Sola Fide (bahwa
kita dibenarkan hanya oleh iman saja), dalam Alkitab terjemahan bahasa
Jerman, Martin Luther menambahkan kata 'saja' pada surat Roma 3:28.
Sehingga ayat tersebut berbunyi: "Karena kami yakin, bahwa manusia
dibenarkan karena iman saja, dan bukan karena ia melakukan hukum
Taurat". Tidak heran kalau Martin Luther menghujat surat Rasul Yakobus
dan berusaha untuk membuangnya dari Perjanjian Baru, karena justru dalam
surat Yakobus ada banyak ayat yang menjatuhkan doktrin Sola Fide yang
diciptakan oleh Martin Luther tersebut. Antara lain, dalam Yakobus
2:14-15 tertulis: "Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang
mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai
perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia?" dan Yakobus 2:17
"Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai
perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati" dan Yakobus 2:24
"Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya
dan bukan hanya karena iman."
Pertanyaannya sekarang adalah:
Kitab Perjanjian Lama manakah yang lebih baik anda baca? Kitab
Perjanjian Lama yang digunakan oleh Yesus, para penulis kitab-kitab
Perjanjian Baru dan Gereja purba? Atau Kitab Perjanjian Lama yang
ditetapkan oleh imam-imam Yahudi yang menolak Yesus Kristus dan
menindas umat Kristen purba ?
8. Alkitab Gereja Katolik
Bahkan
sebelum pecahnya Reformasi Protestan, ada banyak versi-versi Alkitab
yang beredar pada masa itu. Banyak diantaranya mengandung
kesalahan-kesalahan yang disengaja - seperti dalam kasus-kasus kaum
heretic, pembangkang gereja yang berusaha mendukung doktrin-doktrin yang
mereka ciptakan sendiri, dengan menuliskan Alkitab yang sudah
diganti-ganti isinya. Ada juga kesalahan-kesalahan yang tidak disengaja
oleh karena faktor human error, mengingat pekerjaan menyalin Alkitab
dilakukan dengan tulisan tangan, ayat demi ayat, yang sangat memakan
waktu dan tenaga.
Oleh karena itu pada Konsili di
Florence pada abad ke lima belas, Gereja Katolik menguatkan keputusan
yang dibuat pada konsili-konsili sebelumnya mengenai kitab-kitab yang
ada dalam Alkitab.
Setelah meletusnya Reformasi
Protestan, pada Konsili Trente oleh Gereja Katolik pada tahun 1546
dikeluarkanlah dekrit yang mensahkan Vulgate, versi Latin dari Alkitab
sebagai satu-satunya versi yang diakui dan sah yang diperbolehkan
kepada umat Katolik. Alkitab ini direvisi oleh Paus Sixtus V pada tahun
1590 dan juga oleh Paus Clement VIII pada tahun 1593.
Selanjutnya pada konsili Vatikan I, kembali Gereja Katolik menegaskan keputusan konsili-konsili sebelumnya tentang Alkitab.
PENGANTAR PERJANJIAN BARU (bag. 1)
... dari catatan kuliah Martin Suhartono, S.J,
Fakultas Teologi - Universitas Sanata Dharma - Yogyakarta
1998
PENGANTAR
...
Yang
ditulis di sini dimaksudkan sekedar sebagai kenangan akan uraian yang
telah didapat di ruang kuliah. Selama kuliah, waktu banyak diberikan
kepada diskusi kelompok dan pendalaman bersama. Pokok-pokok gagasan
yang diuraikan di sini tergantung penuh pada dinamika proses
belajar-mengajar yang berjalan. Dalam arti itu, pengetahuan yang
diberikan sedikit banyak tergantung pada problem-problem konkret yang
dihadapi oleh para mahasiswa/i. Dengan demikian kumpulan catatan kuliah
ini tak dimaksudkan sebagai pengantar lengkap menyeluruh terhadap Kitab
Suci Perjanjian Baru. Untuk melengkapi kuliah ini, para mahasiswa/i
diwajibkan membaca buku-buku Rm. I. Suharyo, Pr.,Mengenal
Tulisan Perjanjian Baru. Sebagai buku pegangan mengenai latar belakang Teks PB dipakai
buku karangan John Stambaugh & David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula.
Terima
kasih saya ucapkan kepada para mahasiswa/i yang turut aktif dalam
proses belajar-mengajar ini maupun kepada mereka yang dengan penuh
kesabaran telah mendengarkan uraian saya.
Yogyakarta, Desember 1998
Martin Suhartono, S.J.
BAB SATU
PEMBENTUKAN KITAB SUCI
Bagaimanakah
prosesnya sampai sebuah KS itu terbentuk, dibukukan dan diterima suatu
umat beragama? Berapa lamakah proses itu berjalan? Apa sajakah yang
mempengaruhi sampai proses itu mengkristal dalam bentuk "teks konkret"
yang kita miliki sekarang ini? Inilah pertanyaan-pertanyaan dasariah
yang ingin diulas dalam bab ini.
A. Proses penulisan dalam terbentuknya KS
Bila
ditanya, "Bagaimanakah terbentuknya KS Kristen?", orang umumnya
spontan menjawab, "Wah, lama sekali prosesnya!" Orang segera terpikir
akan tiga periode sehubungan dengan terbentuknya KS Perjanjian Baru,
yaitu:
1) Masa hidup Yesus: Yesus berkarya dan bersabda (th. 0 - 30an M).
2) Masa hidup awal jemaat Kristen: setelah Yesus wafat dan bangkit (30an-70an): umat
Kristen
hidup bersama (koinonia) dan berkumpul, merayakan (leiturgia),
mewartakan (kerygma), mengajar (katekhein) misteri iman yang mereka
terima dari Yesus. Pada umumnya segala bentuk pengajaran itu disampaikan
secara lisan. Tapi sudah beredar pula surat-surat Paulus dan
kemungkinan besar juga kumpulan sabda Yesus (Q:Quelle, bhs. Jerman,
artinya “sumber”, disebut juga “logia”, kata-kata) yang dianggap
merupakan sumber bagi Mt dan Lk.
3) Masa penulisan/redaksi
Injil-injil (70an-100an): Yaitu berturut-turut Injil Mk (asal:Roma?
waktu: thn. 70?), Mt (Syria-Palestina? 80-90?), Lk (Antiokhia? 80-90?),
Yoh (Asia Kecil? 95-100?).
Jadi orang spontan terpikir
akan kurun waktu sekitar tujuhpuluh tahun sejak Yesus wafat sampai
akhir periode penulisan Injil terakhir (Yoh, thn. 100an). Orang
teringat pula akan proses ratusan tahun yang membentuk KS Perjanjian
Lama.
Berhadapan dengan ini, orang spontan pula membedakan proses pembentukan KS Kristen yang berangsur-angsur
dan lama itu dengan faham tentang turunnya KS Al-Quran yang seketika. Apakah ini tepat?
Memang
kita terbiasa dengan perayaan peringatan Malam Nuzulul Quran (malam
turunnya Al-Quran) sehingga timbul bayangan bahwa keseluruhan Al-Quran
itu diturunkan dari sorga dalam waktu satu malam itu. Padahal, cobalah
baca sembarang pengantar terhadap Al-Quran yang paling sederhana pun!
Di sana biasa dijelaskan adanya tradisi yang umum diterima umat Islam
bahwa KS mereka itu diwahyukan kepada Nabi Muhammad dalam kurun waktu
22 tahun, 2 bulan, dan 22 hari. Pada salah satu malam bulan Ramadan itu
dirayakan turunnya ayat-ayat Quran untuk pertama kalinya. Di malam itu
hanya diturunkan lima ayat pertama, yang diawali dengan ajakan
"Bacalah ...", dan bukan keseluruhan ayat- ayat Al-Quran. Apa yang
diterima oleh Nabi Muhammad itu tidak langsung ditulis dan dibukukan,
melainkan disampaikan untuk dihapalkan secara lisan. Kadang ada pula
yang kemudian dituliskan, namun secara tersebar-sebar. Baru kemudian
setelah Nabi Muhammad wafat ada usaha untuk mengumpulkan ayat-ayat yang
disampaikan oleh beliau menjadi satu buku. Ayat-ayat itu ada yang
sudah dalam bentuk tertulis, meski masih tersebar-sebar, ada pula yang
masih tersimpan dalam ingatan orang.
Jadi proses
terbentuknya suatu KS, baik dalam agama Yahudi, Kristen, maupun Islam,
memakan waktu cukup lama, yaitu sampai segala macam bentuk tradisi lisan
dibakukan dalam tulisan dan dikumpulkan dalam suatu kitab.
B. Proses seleksi dalam terbentuknya KS
Bila
orang secara sepintas lalu mendengarkan penjelasan tentang perbedaan
antara terjadinya Al-Quran dan KS Yahudi/Kristen, orang spontan punya
anggapan, “Lho, yang Islam kok lebih otentik?” Apakah yang dimaksudkan
dengan "otentik" di sini?
Masalah otentisitas itu muncul
bila orang, di satu pihak, menghadapi adanya macam- macam manuskrip dan
kumpulan kitab (Kodeks) yang memuat tulisan-tulisan KS Yahudi/Kristen,
dan di lain pihak mendengar bahwa hanya ada satu teks Al-Quran saja.
Jadi “otentik” kerap diartikan sebagai hanya ada satu teks tunggal
Al-Quran, seakan kitab tekstual yang dimiliki orang sekarang inilah
yang diturunkan dari langit.
Orang yang tak mengerti
kerap membayangkan bahwa Al-Quran itu diturunkan sekaligus sudah urut
secara kronologis dari Surah 1 sampai Surah 114. Ternyata tidak
demikianlah halnya. Proses pewahyuan Al-Quran dimulai dengan 5 ayat,
yang kemudian - ketika percikan-percikan wahyu itu disusun menjadi satu
kitab- dimuat sebagai 5 ayat pertama Surah 96 (ada 19 ayat) dan 22
tahun kemudian diakhiri dengan ayat-ayat yang disebut Surah 5.
Apakah
betul tadinya hanya ada satu versi Al-Quran saja? Tidak. Pada zaman
Nabi Muhammad dan kemudian di zaman Kalifah pertama (Abubakar) dan
Kalifah kedua (Umar) beredar banyak ayat yang masih berupa hapalan atau
pun dituliskan di atas daun palem (belum berupa buku), yang menurut
tradisi didiktekan langsung oleh Nabi setiap kali sehabis Nabi menerima
wahyu. Pada zaman Kalifah ketiga (Usman), dihimpunlah ayat-ayat yang
tak terbilang banyaknya itu dari siapa saja, yang menyimpan secara
tertulis maupun dalam hapalan, dan kemudian berdasarkan kriteria
tertentu diseleksilah mana yang dianggap sah dari Nabi dan lalu disusun
menjadi satu kitab. Surat yang dijadikan Surat 1 adalah Al-Fatihah
(artinya: “Pembuka”) dan setelah itu urutan surat bukanlah secara
tematis maupun kronologis, melainkan berdasar panjang surat: dari yang
paling panjang ke yang paling pendek.Bagaimanakah dengan teks lain atau
versi lain (bila tentang satu hal yang sama ada macam-macam versi
ayat) yang tak diterima oleh Usman? Itu semua dimusnahkan, sehingga
sejak saat itu hanya ada satu teks tunggal Al-Quran. Itulah yang
umumnya diketahui. Tapi sebenarnya, ada versi lain yang berlaku di
Mesir, ada juga versi lain yang beredar di Afrika. Kisah mengenai
“kanonisasi” dalam zaman Usman ini adalah tradisi yang umum diterima,
namun ada juga tradisi lain yang mengatakan bahwa ayat-ayat itu sudah
terkumpul pada zaman Kalifah pertama (Abubakar), ada juga yang bilang
pada zaman Kalifah keempat (Ali). Pendek kata, proses “turun”nya
Al-Quran sampai menjadi satu kitab tidaklah sesederhana seperti diduga
orang, mengenai hal ini silahkan baca dalam Encyclopaedia of Islam,
pokok bahasan “Al-Kur’an”.
Hal yang sama terjadi juga
dalam pengumpulan hadits Nabi Muhammad, yaitu kisah peristiwa-peristiwa
dari hidup Nabi. Beredar 600.000an kisah, dan dari itu semua hanya
sekitar 4000an yang dianggap sahih (jadi 1 di antara 150) (pendapat
lain adalah 2000 dari 200.000an kisah). Sahih artinya dianggap sah,
otentik, asli, sebagai "terjadi sungguh- sungguh" dan bukan laporan
palsu si pencerita belaka. Jadi di sini pun tetap terlibat suatu proses
seleksi yang ditentukan oleh orang-orang tertentu dengan kriteria
tertentu juga. Apakah dalam agama Kristen ada yang dapat
diperbandingkan dengan hadits ini.
LATAR BELAKANG SOSIO-HISTORIS KITAB PB
Uraian
sebelum ini bermuara pada faham bahwa KS adalah Sabda Allah dalam
kata-kata manusia. Kata-kata manusia itu selalu terkondisikan oleh
latar belakang sosio-historis terbentuknya KS. Dari situ dapat
disimpulkan bahwa untuk memahami KS perlulah dipahami konteks
sosio-historis KS, yaitu situasi sosio-historis abad pertama kekristenan
di wilayah Laut Tengah.
A. Antara Yahudi Palestina dan Yahudi Hellenis?
Bila
kita membaca buku Sean Freyne yang diolah dan disederhanakan oleh I.
Suharyo,Dunia Perjanjian Baru, akan kita dapati bab-bab terpisah:
“Dunia Yunani”, “Dunia Romawi”, “Dunia Yahudi”. Namun janganlah kita
membayangkan bahwa pada abad-abad pertama Masehi itu ada tiga dunia yang
terpisah-pisah semacam itu. Setelah studi Martin Hengel,
Judaism
and Hellenism (Philadelphia: Fortress Press, 1974; dua jilid) kini
orang ragu-ragu untuk bicara mengenai Yahudi Palestina dan Yahudi
Hellenis (Diaspora) seakan kedua dunia tersebut sama sekali berbeda dan
terpisah. Studi Hengel mengetengahkan fakta bahwa keduanya saling
bertumpang tindih karena pada masa itu ada proses Hellenisasi yang
tersebar luas di wilayah Laut Tengah.
Tanah Palestina yang
cuma secuil itu punya kedudukan strategis dari sudut politik, ekonomi,
budaya. Dan sudah sejak dari zamanbaheula selalu menjadi ajang
perebutan oleh bangsa Babilon, bangsa Persia, bangsa Siria, dan pada
th. 333 BCE (Before the Common Era) oleh Aleksander Agung yang saat itu
menguasai seluruh wilayah Yunani, Siria, Palestina, Mesir, Italia dll.
Dalam zaman pemerintahan Aleksandaer Agung itu proses Hellenisasi itu
meluas ke mana-mana. Palestina menghubungkan dunia Timur, Barat, Utara,
Selatan.
Proses Hellenisasi itu tidak berjalan mulus. Di
Palestina terjadi perlawanan hebat. Maklum tradisi Yahudi begitu
mendarah-daging dan ketat. Di kota-kota besar, bahkan di Yerusalem,
didirikan gelanggang-gelanggang olahraga (gymnasium).
Para
pria Yunani biasa berlaga dan bergulat di gelanggang olahraga itu
dengan telanjang bulat. Peristiwa itu sendiri tentu sudah suatu
skandal, terlebih lagi bila hal itu dilakukan oleh para pria Yahudi
yang keranjingan meniru tingkah laku orang Yunani dengan bertelanjang
di muka umum. Tentu saja orang-orang Yahudi yang bersunat menjadi bahan
tertawaan orang Yunani yang tidak bersunat! Lebih keterlaluan lagi
tingkah Yahudi kaum helenis itu yang karena malu akan sunat mereka
kemudian “memulihkan kulup mereka” (1 Makabe 1:14-15), entah bagaimana
caranya! Dan dengan demikian menurut pengarang faham Yahudi, “murtadlah
mereka dari perjanjian kudus” (1 Mak 1:15).
Perlawanan
demi perlawanan terjadi (lihat 1 & 2 Mak). Lebih-lebih setelah
bangsa Romawi menguasai Palestina sejak 63 B.C.E (ketika jendral Pompei
menduduki Siria dan Palestina), memuncak dengan dihancurkannya Bait
Allah oleh Titus tahun 70 CE, dan dihancurkannya Yerusalem dan
diusirnya orang Yahudi dari sana pada tahun 135 CE. Yesus hidup dalam
situasi kekerasan seperti itu. Maka pesan perdamaian Yesus tentunya
terdengar aneh di telinga orang sebangsanya. Bahkan pada zaman ini pun
banyak orang tak rela kalau Yesus itu dianggap tak termasuk golongan
pejuang kemerdekaan. Berbagai hipotesa muncul tentang Yesus yang
revolusioner model Che Guevara, termasuk golongan Zelot (golongan
penentang penjajah). Dalam konteks ini juga dapat dimengerti perlawanan
yang dihadapi Paulus dan jemaat kristen awal dari kalangan Yahudi
sehubungan dengan sunat dan pewartaan kepada bangsa-bangsa lain.
B. Perbudakan dalam dunia Romawi-Yunani abad pertama:
Orang
zaman ini pada umumnya menerapkan kategori pemikiran mereka terhadap
masalah- masalah zaman dulu. Begitu juga dalam hal perbudakan. Kita
sudah terbiasa berpikir bahwa perbudakan itu bertentangan dengan
hak-hak asasi manusia. Lebih-lebih karena kita punya gambaran tentang
situasi perbudakan di Amerika Serikat. Di sana memang situasi itu amat
gawat, sampai-sampai terjadi perang saudara antara pihak Selatan dan
Utara. Apakah seperti itu pulakah situasi budak-budak zaman dulu di
Dunia Romawi?
Para ahli tafsir KS sudah sejak lama
kebingungan, mengapa Paulus justru memakai metafor “perbudakan” itu
untuk menggambarkan “penyelamatan”. Ia berkata bahwa orang kristen
dibebaskan dari dosa dan menjadi budak kebenaran (Rom 6:18). Bahkan
dalam 1 Kor 9:19 ia menulis bahwa ia menjadikan diri “budak dari semua
orang”. Ia kerap menyebut diri “budak Kristus”. Ada yang mengira bahwa
istilah itu khas Paulus dan merupakan skandal besar bagi orang-orang
Romawi. Ada juga yang berpendapat bahwa faham itu tak berasal dari
dunia Romawi Yunani melainkan dari dunia Yahudi (PL). Ada yang mengira
tradisi itu berasal dari kuil suci Delphi. Pada saat budak mau
dibebaskan ia dijual kepada dewa. Jadi sebenarnya ia menjadi bebas
total, hanya saja dikatakan menjadi milik dewa tertentu. Tapi mengapa
peristilahan seperti itu begitu biasa pada Paulus? Dan tampaknya tak
ada bantahan apa pun dari pihak lain terhadap Paulus? Seakan sudah
memang seharusnya demikian?
Kalau hanya berpedoman pada
tulisan para filsuf atau pun para pujangga, yang berasal dari kelas
atas, memang dunia perbudakan tampak serba negatif dan dikecam karena
memang budak-budak dibenci dan diremehkan oleh klas atas. Tapi kalau
orang menyelidiki peninggalan-peninggalan tulisan dari kalangan bawah
(batu nisan makam, kumpulan makna mimpi, novel-novel, dll.) maka muncul
gambaran yang lain. Ternyata dunia para budak tak seburuk yang kita
duga.
Ada beberapa faham umum tentang budak yang ternyata
tak tepat. Sering dikira, para budak tak punya tempat tinggal sendiri,
mereka tinggal di rumah tuan mereka. Tapi dari beberapa naskah kontrak
kerja atau dagang; jelas dikatakan di situ bahwa kontrak
ditandatangani di rumah para budak itu sendiri. Ternyata para budak
punya uang dan harta kekayaan. Bahkan mereka kerap membebaskan diri
sendiri dengan membayar harga tinggi yang dituntut tuan mereka; atau
bahkan mempersembahkan batu nisan mewah bagi mendiang majikan. Budak
dapat ditemukan bekerja dalam pekerjaan apa pun yang dapat dilakukan
oleh orang merdeka: dokter, pengacara, tentara, penanggung jawab
perusahaan, pembersih rumah dll. Selain budak kelas bawah, ada juga
budak kelas menengah yang menjadi manager. Ini diketahui a.l. dari buku
petunjuk mimpi karangan Artemidorus. Ada mimpi yang baik bagi budak
kelas rendah, tapi mimpi yang sama punya makna buruk bagi budak kelas
atas dan sebaliknya. Mimpi disalib baik bagi budak rendahan (artinya:
bakal dibebaskan) tapi buruk bagi budak manager (artinya: akan dilucuti
dari kekuasaannya).
Ternyata posisi budak memberi
kemungkinan untuk naik pangkat dalam skala sosial. Budak orang terkenal
atau kaya akan mencicipi juga kekayaan dan kedudukan itu. Budak orang
kaya bisa dengan mudah mencari pekerjaan. Sebaliknya orang merdeka yang
tanpa jaminan, akan menganggur dan sengsara. Dalam dunia itu hidup
subur polapatron-client (pelindung dan klien). Menjadi budak juga
dianggap sebagai sarana untuk merambat ke atas (mobilitas ke atas),
apalagi setelah nanti dibebaskan. Tapi banyak budak lebih memilih jadi
budak tapi kaya dan berpengaruh daripada merdeka tapi kere!
Karena
itulah, tindakan Paulus yang menyuruh Onesimus kembali ke Filemon
dapat dipahami dalam konteks abad pertama tersebut. Terlebih lagi,
Paulus berusaha agar Filemon memperlakukan Onesimus bukan lagi sebagai
budak melainkan saudara dalam iman. Dengan tindakan itu, Paulus
mengerjakan tindakan pendamaian antara tuan dan budaknya, seperti
Kristus sendiri yang mendamaikan Allah dan manusia (2 Kor 5:18).
Nah,
dalam konteks dunia seperti itulah Paulus hidup. Maka bahasa positif
tentang perbudakan memang bisa ditangkap dan diterima. Lihat Dale B.
MARTIN, Slavery as Salvation. The Metaphor of Slavery in Pauline
Christianity (New
sumber: MIK