Selasa, 12 Juni 2012

Sejarah Terbentuknya Kitab-kitab Perjanjian Lama DAN Perjanjian Baru

1. Sejarah Terbentuknya Kitab-kitab Perjanjian Lama

Alkitab Gereja Katolik terdiri dari 73 kitab, yaitu Perjanjian Lama terdiri dari 46 kitab sedangkan Perjanjian Baru terdiri dari 27 kitab.

Bagaimanakah sejarahnya sehingga Alkitab terdiri dari 73 kitab, tidak lebih dan tidak kurang ?
Pertama, kita akan mengupas kitab-kitab Perjanjian Lama yang dibagi dalam tiga bagian utama :
• Hukum-hukum Taurat,
• Kitab nabi-nabi, dan
• Naskah-naskah.

Lima buku pertama : Kitab Kejadian, Kitab Keluaran, Kitab Imamat dan Kitab Bilangan dan Kitab Ulangan adalah intisari dan cikal-bakal seluruh kitab-kitab Perjanjian Lama. Pada suatu ketika dalam sejarah, ini adalah Kitab Suci yang dikenal oleh orang-orang Yahudi dan disebut Kitab Taurat atau Pentateuch.

Selama lebih dari 2000 tahun, nabi Musa dianggap sebagai penulis dari Kitab Taurat, oleh karena itu kitab ini sering disebut Kitab Nabi Musa dan sepanjang Alkitab ada referensi kepada "Hukum Nabi Musa". Tidak ada seorangpun yang dapat memastikan siapa yang menulis Kitab Taurat, tetapi tidak disangkal bahwa nabi Musa memegang peran yang unik dan penting dalam berbagai peristiwa-peristiwa yang terekam dalam kitab-kitab ini. Sebagai orang Katolik, kita percaya bahwa Alkitab adalah hasil inspirasi Ilahi dan karenanya identitas para manusia pengarangnya tidaklah penting.

Nabi Musa menaruh satu set kitab di dalam Tabut Perjanjian (The Ark of The Covenant) kira-kira 3300 tahun yang lalu. Lama kemudian Kitab Para Nabi dan Naskah-naskah ditambahkan kepada Kitab Taurat dan membentuk Kitab-kitab Perjanjian Lama. Kapan tepatnya isi dari Kitab-kitab Perjanjian Lama ditentukan dan dianggap sudah lengkap, tidaklah diketahui secara pasti. Yang jelas, setidaknya sejak lebih dari 100 tahun sebelum kelahiran Kristus, Kitab-kitab Perjanjian Lama sudah ada seperti umat Katolik mengenalnya sekarang.

Kitab-kitab Perjanjian Lama pada awalnya ditulis dalam bahasa Ibrani (Hebrew) bagi Israel, umat pilihan Allah. Tetapi setelah orang-orang Yahudi terusir dari tanah Palestina dan akhirnya menetap di berbagai tempat, mereka kehilangan bahasa aslinya dan mulai berbicara dalam bahasa Yunani (Greek) yang pada waktu itu merupakan bahasa internasional. Oleh karena itu menjadi penting kiranya untuk menyediakan bagi mereka, terjemahan seluruh Kitab Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani. Pada waktu itu di Alexandria berdiam sejumlah besar orang Yahudi yang berbahasa Yunani. Selama pemerintahan Ptolemius II Philadelphus (285 - 246 SM) proyek penterjemahan dari seluruh Kitab Suci orang Yahudi ke dalam bahasa Yunani dimulai oleh 70 atau 72 ahli-kitab Yahudi - menurut tradisi - 6 orang dipilih mewakili setiap dari 12 suku bangsa Israel. Terjemahan ini diselesaikan sekitar tahun 250 - 125 SM dan disebut Septuagint, yaitu dari kata Latin yang berarti 70 (LXX), sesuai dengan jumlah penterjemah.
Kitab ini sangat populer dan diakui sebagai Kitab Suci resmi (kanon Alexandria) kaum Yahudi yang terusir, yang tinggal di Asia Kecil dan Mesir. Pada waktu itu Ibrani adalah bahasa yang nyaris mati dan orang-orang Yahudi di Palestina umumnya berbicara dalam bahasa Aram. Jadi tidak mengherankan kalau Septuagint adalah terjemahan yang digunakan oleh Yesus, para Rasul dan para penulis kitab-kitab Perjanjian Baru. Bahkan, 300 kutipan dari Kitab Perjanjian Lama yang ditemukan dalam Kitab Perjanjian Baru adalah berasal dari Septuagint. Harap diingat juga bahwa seluruh Kitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani.

Setelah Yesus disalibkan dan wafat, para pengikut-Nya tidak menjadi punah tetapi malahan menjadi semakin kuat. Pada sekitar tahun 100 Masehi, para rabbi (imam Yahudi) berkumpul di Jamnia, Palestina, mungkin sebagai reaksi terhadap Gereja Katolik.

Dalam konsili Jamnia ini mereka menetapkan empat kriteria untuk menentukan kanon Kitab Suci mereka :
1. Ditulis dalam bahasa Ibrani;
2. Sesuai dengan Kitab Taurat;
3. lebih tua dari jaman Ezra (sekitar 400 SM);
4. dan ditulis di Palestina.

Atas kriteria-kriteria diatas mereka mengeluarkan kanon baru untuk menolak tujuh buku dari kanon Alexandria, yaitu seperti yang tercantum dalam Septuagint, yaitu: Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Sirakh, Barukh, 1 Makabe, 2 Makabe, berikut tambahan-tambahan dari kitab Ester dan Daniel. (Catatan: Surat Nabi Yeremia dianggap sebagai pasal 6 dari kitab Barukh). Hal ini dilakukan semata-mata atas alasan bahwa mereka tidak dapat menemukan versi Ibrani dari kitab-kitab yang ditolak diatas.

Gereja Katolik tidak mengakui konsili rabbi-rabbi Yahudi ini dan tetap terus menggunakan Septuagint. Pada konsili di Hippo tahun 393 Masehi dan konsili Kartago tahun 397 Masehi, Gereja Katolik secara resmi menetapkan 46 kitab hasil dari kanon Alexandria sebagai kanon bagi Kitab-kitab Perjanjian Lama. Selama enam belas abad, kanon Alexandria diterima secara bulat oleh Gereja. Masing-masing dari tujuh kitab yang ditolak oleh konsili Jamnia, dikutip oleh para Patriarch Gereja (Church Fathers) sebagai kitab-kitab yang setara dengan kitab-kitab lainnya dalam Perjanjian Lama. Church Fathers, beberapa diantaranya disebutkan disini: St. Polycarpus, St. Irenaeus, Paus St. Clement, dan St. Cyprianus adalah para Patriarch Gereja yang hidup pada abad-abad pertama dan tulisan-tulisan mereka - meskipun tidak dimasukkan dalam Perjanjian Baru - menjadi bagian dari Deposit Iman. Tujuh kitab berikut dua tambahan kitab yang ditolak tersebut dikenal oleh Gereja Katolik sebagai Deuterokanonika (= second-listed) yang artinya kira-kira: "disertakan setelah banyak diperdebatkan".


2. Gereja Katolik Mendahului Kitab Perjanjian Baru

Seperti Kitab-kitab Perjanjian Lama, Kitab-kitab Perjanjian Baru juga tidak ditulis oleh satu orang, tetapi adalah hasil karya setidaknya delapan orang. Kitab Perjanjian Baru terdiri dari 4 kitab Injil, 14 surat Rasul Paulus, 2 surat Rasul Petrus, 1 surat Rasul Yakobus, 1 surat Rasul Yudas, 3 surat Rasul Yohanes dan Wahyu Rasul Yohanes dan Kisah Para Rasul yang ditulis oleh Santo Lukas, yang juga menulis Kitab Injil yang ketiga. Sejak kitab Injil yang pertama yang ditulis oleh Santo Matius(1*) sampai kitab Wahyu Yohanes, ada kira-kira memakan waktu 50 tahun. Tuhan Yesus sendiri, sejauh yang kita ketahui, tidak pernah menuliskan satu barispun dari kitab Perjanjian Baru. Dia tidak pernah memerintahkan para Rasul untuk menuliskan apapun yang diajarkan oleh-Nya. Dia berkata: "Maka pergilah dan ajarlah segala bangsa" (Matius 28:19-20), "Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku" (Lukas 10:16).
Apa yang Yesus perintahkan kepada mereka persis sama seperti apa yang Yesus sendiri lakukan: menyampaikan Firman Allah kepada orang-orang melalui kata-kata, meyakinkan, mengajar, dan mentobatkan mereka dengan bertemu muka. Jadi bukan melalui sebuah buku yang mungkin bisa rusak dan hilang, dan disalah tafsirkan dan diubah-ubah isinya, melainkan melalui cara yang lebih aman dan alami dalam menyampaikan firman yaitu dari mulut ke mulut. Demikianlah para Rasul mengajar generasi seterusnya untuk melakukan hal yang serupa setelah mereka meninggal. Oleh karena itu melalui Tradisi seperti inilah Firman Allah disampaikan kepada semua generasi umat Kristen sebagaimana pertama kali diterima oleh para Rasul.

Tidak satu barispun dari kitab-kitab Perjanjian Baru dituliskan sampai setidaknya 10 tahun setelah wafatnya Kristus. Yesus disalibkan pada tahun 33 dan kitab Perjanjian Baru yang pertama ditulis yaitu surat 1 Tesalonika baru ditulis sekitar tahun 50 Masehi. Sedangkan kitab terakhir yang ditulis yaitu kitab Wahyu Yohanes pada sekitar 90-100 Masehi. Jadi anda bisa melihat kesimpulan penting disini : Gereja Katolik dan iman Katolik sudah ada sebelum Alkitab dijadikan. Beribu-ribu orang bertobat menjadi Kristen melalui khotbah para Rasul dan missionaris di berbagai wilayah, dan mereka percaya kepada kebenaran Ilahi seperti kita percaya sekarang, dan bahkan menjadi orang-orang kudus tanpa pernah melihat ataupun membaca satu kalimatpun dari kitab Perjanjian Baru. Ini karena alasan yang sederhana yaitu bahwa pada waktu itu Alkitab seperti yang kita kenal, belum ada. Jadi, bagaimanakah mereka menjadi Kristen tanpa pernah melihat Alkitab? Yaitu dengan cara yang sama orang non-Kristen menjadi Kristen pada masa kini, yaitu dengan mendengar Firman Allah dari mulut para misionaris.


3. Gereja Katolik Menetapkan Kitab Perjanjian Baru

Ke-dua puluh tujuh kitab diterima sebagai Kitab Suci Perjanjian Baru baik oleh umat Katolik maupun Protestan.

Pertanyaannya adalah :
• Siapa yang memutuskan kanonisasi Perjanjian Baru sebagai kitab-kitab yang berasal dari inspirasi Ilahi ?

• Kita tahu bahwa Alkitab tidak jatuh dari langit, jadi darimana kita tahu bahwa kita bisa percaya kepada setiap kita-kitab tersebut ?
Berbagai uskup membuat daftar kitab-kitab yang diakui sebagai inspirasi Ilahi, diantaranya :
• Mileto, uskup Sardis pada tahun 175 Masehi;
• Santo Irenaeus, uskup Lyons - Perancis pada tahun 185 Masehi;
• Eusebius, uskup Caesarea pada tahun 325 Masehi.

Pada tahun 382 Masehi, didahului oleh Konsili Roma, Paus Damasus menulis dekrit yang menulis daftar kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang terdiri dari 73 kitab.
Konsili Hippo di Afrika Utara pada tahun 393 menetapkan ke 73 kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Konsili Kartago di Afrika Utara pada tahun 397 menetapkan kanon yang sama untuk Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Catatan: Ini adalah konsili yang dianggap oleh banyak kaum Protestan dan Evangelis Protestan sebagai otoritatif bagi kanonisasi kitab-kitab dalam Perjanjian Baru.

Paus Santo Innocentius I (401-417) pada tahun 405 Masehi menyetujui kanonisasi ke 73 kitab-kitab dalam Alkitab dan menutup kanonisasi Alkitab.

Jadi kanonisasi Alkitab secara resmi diputuskan di abad ke empat oleh konsili-konsili Gereja Katolik dan para Paus. Sebelum kanon Alkitab ditetapkan, ada banyak perdebatan. Ada yang beranggapan bahwa beberapa kitab Perjanjian Baru seperti surat Ibrani, surat Yudas, kitab Wahyu, dan surat 2 Petrus, adalah bukan hasil inspirasi Ilahi. Sementara pihak lain berpendapat bahwa beberapa kitab yang tidak dikanonisasi seperti: Gembala Hermas, Injil Petrus dan Thomas, surat-surat Barnabas dan Clement adalah hasil inspirasi Ilahi. Keputusan resmi Gereja Katolik menyelesaikan hal diatas sampai 1100 tahun kemudian. Hingga jaman Reformasi Protestan, tidak ada lagi perdebatan akan kitab-kitab dalam Alkitab.

Melihat sejarah, Gereja Katolik menggunakan otoritasnya untuk menentukan kitab-kitab yang mana yang termasuk dalam Alkitab dan memastikan bahwa segala yang tertulis dalam Alkitab adalah hasil inspirasi Ilahi. Jika bukan karena Gereja Katolik, maka umat Kristen tidak akan dapat mengetahui yang mana yang benar.


4. Kitab Vulgate - Karya Santo Jerome

Ketika Kabar Gembira telah tersebar luas dan banyak orang menjadi Kristen, merekapun dibekali dengan terjemahan Kitab Perjanjian Lama dalam bahasa asli mereka yaitu Armenia, Siria, Koptik, Arab dan Ethiopia bagi umat Kristen purba di wilayah-wilayah ini. Bagi umat Kristen di Afrika dimana bahasa Latin paling luas digunakan, ada terjemahan kedalam bahasa Latin yang dibuat sekitar tahun 150 Masehi dan juga terjemahan berikutnya bagi umat di Italia.
Akan tetapi semua ini akhirnya digantikan oleh mahakarya yang dibuat oleh Santo Jerome dalam bahasa Latin yang disebut "Vulgate" pada abad ke-empat.

Pada masa itu ada kebutuhan besar akan Kitab Suci dan ada bahaya karena banyaknya variasi terjemahan yang ada. Oleh karena itu sang biarawan, yang mungkin pada waktu itu adalah orang yang paling terpelajar, atas perintah Paus Santo Damascus pada tahun 382, membuat terjemahan Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Latin dan mengkoreksi versi-versi yang ada dalam bahasa Yunani. Lantas di Bethlehem antara tahun 392-404, dia juga menterjemahkan Kitab-kitab Perjanjian Lama langsung dari bahasa Ibrani (jadi bukan dari Septuagint) kedalam bahasa Latin, kecuali kitab Mazmur yang direvisi dari versi Latin yang sudah ada.
Ini adalah Alkitab lengkap yang diakui resmi oleh Gereja Katolik, yang nilainya tak terukur menurut para ahli alkitab masa kini, dan terus mempengaruhi versi-versi lainnya sampai pada jaman Reformasi Protestan. Dari Vulgate inilah dihasilkan terjemahan dalam bahasa Inggris yang terkenal yaitu Douai-Rheims Bible.


5. Hilangnya Kitab-kitab Asli

Hingga ditemukannya mesin cetak pada tahun 1450, semua Alkitab adalah hasil salinan tangan yang kita sebut manuskrip. Alkitab lengkap tertua yang masih ada hingga sekarang berasal dari abad ke-empat, dan isinya sama dengan Alkitab yang dipegang oleh umat Katolik yaitu terdiri dari 73 kitab. Apa yang terjadi dengan manuskrip-manuskrip asli yang ditulis oleh para penulis kitab Injil? Ada beberapa alasan akan hilangnya kitab - kitab asli tersebut :

Beberapa ratus tahun pertama adalah masa-masa penganiayaan terhadap umat Kristen. Para penguasa yang menindas Gereja Katolik menghancurkan segala hal yang menyangkut Kristenitas yang bisa mereka temukan. Selanjutnya, kaum pagan (non-Kristen) juga secara berulang-ulang menyerang kota-kota dan perkampungan Kristen dan membakar dan menghancurkan gereja dan segala benda-benda religius yang dapat mereka temukan disana. Lebih jauh lagi, mereka bahkan memaksa umat Kristen untuk menyerahkan kitab-kitab suci dibawah ancaman nyawa, lantas membakar kitab-kitab tersebut.

Alasan lainnya : media yang dipakai untuk menuliskan ayat-ayat Alkitab, disebut papirus - sangat mudah hancur dan tidak tahan lama, sedangkan perkamen, yang terbuat dari kulit binatang dan lebih tahan lama, sulit didapat. Kedua materi inilah yang dimaksud dalam 2 Yohanes 1:12 dan 2 Timotius 4:13. Umat Kristen purba, setelah membuat salinan Alkitab, juga tidak terlalu peduli untuk menjaga kitab aslinya. Mereka tidak beranggapan penting untuk memelihara tulisan-tulisan asli oleh Santo Paulus atau Santo Matius oleh karena mereka percaya penuh kepada Gereja Katolik yang mengajarkan lewat Tradisi melalui mulut para Paus dan para uskup-uskupnya. Umat Katolik tidak melandaskan ajaran-ajarannya pada Alkitab semata-mata, tetapi juga kepada Tradisi yang hidup, dari Gereja Katolik yang infallible. ubi Ecclesia, ibi Christus.


6. Alkitab pada Abad Pertengahan

Segenap umat Kristen berhutang budi kepada para kaum religius, imam, biarawan dan biarawati yang menyalin, memperbanyak, memelihara dan menyebarluaskan Alkitab selama berabad-abad. Para biarawan adalah kaum yang paling terpelajar pada jamannya dan salah satu kegiatan utama mereka adalah menyalin isi Alkitab sedangkan biara-biara menjadi pusat penyimpanan naskah-naskah Alkitab ini. Umumnya masing-masing biara-biara di abad pertengahan memiliki perpustakaan tersendiri. Tidak kurang dari para raja dan kaum bangsawan dan orang-orang terkenal meminjam dari biara-biara ini. Para raja dan kaum bangsawan itu sendiri, bersama para Paus, uskup dan kepala-kepala biara, sering menghadiahkan Kitab Suci yang diberi hiasan yang indah kepada biara-biara dan gereja-gereja di seluruh Eropa.

Untuk menyalin satu Alkitab lengkap, diperlukan sekurangnya 10 bulan tenaga kerja dan sejumlah besar perkamen yang mahal harganya untuk memuat lebih dari 35000 ayat-ayat dalam Alkitab. Hal ini menjelaskan mengapa banyak orang biasa tidak mampu memiliki setidaknya satu set Alkitab lengkap di rumah-rumah mereka. Mereka biasanya memiliki salinan dari sejumlah pasal dalam Alkitab yang populer. Jadi kebiasaan memiliki bagian-bagian dari Alkitab yang terpisah adalah kebiasaan yang sepenuhnya Katolik dan yang hingga kini masih dilakukan.

Alkitab pada abad pertengahan umumnya ditulis dalam bahasa Latin. Hal ini dilakukan sama sekali bukan dimaksudkan untuk menyulitkan umat yang ingin membacanya. Kebanyakan orang pada masa itu tidak mampu membaca, sedangkan mereka yang mampu membaca, juga dapat mengerti bahasa Latin. Latin adalah bahasa universal pada waktu itu. Mereka yang mampu membaca lebih menyukai membaca Vulgate, versi Latin dari Alkitab. Oleh karena kenyataan tersebut, tidak ada alasan kuat untuk menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa setempat secara besar-besaran. Namun meski demikian harap diingat bahwa sepanjang sejarah Gereja Katolik tetap menyediakan terjemahan Alkitab dalam bahasa-bahasa setempat.


7. Martin Luther dan Alkitab Protestan

Pada tahun 1529, Martin Luther mengajukan kanon Palestina yang menetapkan 39 kitab dalam bahasa Ibrani sebagai kanon Perjanjian Lama. Luther mencari pembenaran dari keputusan konsili Jamnia (yang adalah konsili imam Yahudi, jadi bukan sebuah konsili Gereja Kristen!) bahwa tujuh kitab yang dikeluarkan dari Perjanjian Lama tidak memiliki kitab-kitab aslinya dalam bahasa Ibrani. Luther melakukan hal tersebut sebenarnya karena sejumlah ayat-ayat yang terdapat pada kitab-kitab tersebut justru mengokohkan doktrin-doktrin Gereja Katolik dan bertentangan dengan doktrin-doktrin baru yang dikembangkan oleh Martin Luther sendiri.
Oleh karena alasan yang serupa, Martin Luther juga nyaris membuang beberapa kitab-kitab lainnya: surat Yakobus, surat Ibrani, kitab Ester dan kitab Wahyu. Hanya karena bujukan kuat oleh para pendukung kaum reformasi Protestan yang lebih konservatif maka kitab-kitab diatas tetap dipertahankan dalam Alkitab kaum Protestan. Namun demikian, tidak kurang Martin Luther menghujat bahwa surat Yakobus tidak pantas dimasukkan dalam Alkitab.

Untuk mendukung salah satu doktrinnya yang terkenal yaitu Sola Fide (bahwa kita dibenarkan hanya oleh iman saja), dalam Alkitab terjemahan bahasa Jerman, Martin Luther menambahkan kata 'saja' pada surat Roma 3:28. Sehingga ayat tersebut berbunyi: "Karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman saja, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat". Tidak heran kalau Martin Luther menghujat surat Rasul Yakobus dan berusaha untuk membuangnya dari Perjanjian Baru, karena justru dalam surat Yakobus ada banyak ayat yang menjatuhkan doktrin Sola Fide yang diciptakan oleh Martin Luther tersebut. Antara lain, dalam Yakobus 2:14-15 tertulis: "Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia?" dan Yakobus 2:17 "Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati" dan Yakobus 2:24 "Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman."
Pertanyaannya sekarang adalah: Kitab Perjanjian Lama manakah yang lebih baik anda baca? Kitab Perjanjian Lama yang digunakan oleh Yesus, para penulis kitab-kitab Perjanjian Baru dan Gereja purba? Atau Kitab Perjanjian Lama yang ditetapkan oleh imam-imam Yahudi yang menolak Yesus Kristus dan menindas umat Kristen purba ?


8. Alkitab Gereja Katolik

Bahkan sebelum pecahnya Reformasi Protestan, ada banyak versi-versi Alkitab yang beredar pada masa itu. Banyak diantaranya mengandung kesalahan-kesalahan yang disengaja - seperti dalam kasus-kasus kaum heretic, pembangkang gereja yang berusaha mendukung doktrin-doktrin yang mereka ciptakan sendiri, dengan menuliskan Alkitab yang sudah diganti-ganti isinya. Ada juga kesalahan-kesalahan yang tidak disengaja oleh karena faktor human error, mengingat pekerjaan menyalin Alkitab dilakukan dengan tulisan tangan, ayat demi ayat, yang sangat memakan waktu dan tenaga.

Oleh karena itu pada Konsili di Florence pada abad ke lima belas, Gereja Katolik menguatkan keputusan yang dibuat pada konsili-konsili sebelumnya mengenai kitab-kitab yang ada dalam Alkitab.

Setelah meletusnya Reformasi Protestan, pada Konsili Trente oleh Gereja Katolik pada tahun 1546 dikeluarkanlah dekrit yang mensahkan Vulgate, versi Latin dari Alkitab sebagai satu-satunya versi yang diakui dan sah yang diperbolehkan kepada umat Katolik. Alkitab ini direvisi oleh Paus Sixtus V pada tahun 1590 dan juga oleh Paus Clement VIII pada tahun 1593.

Selanjutnya pada konsili Vatikan I, kembali Gereja Katolik menegaskan keputusan konsili-konsili sebelumnya tentang Alkitab.


PENGANTAR PERJANJIAN BARU (bag. 1)

... dari catatan kuliah Martin Suhartono, S.J,

Fakultas Teologi - Universitas Sanata Dharma - Yogyakarta

1998

PENGANTAR
...

Yang ditulis di sini dimaksudkan sekedar sebagai kenangan akan uraian yang telah didapat di ruang kuliah. Selama kuliah, waktu banyak diberikan kepada diskusi kelompok dan pendalaman bersama. Pokok-pokok gagasan yang diuraikan di sini tergantung penuh pada dinamika proses belajar-mengajar yang berjalan. Dalam arti itu, pengetahuan yang diberikan sedikit banyak tergantung pada problem-problem konkret yang dihadapi oleh para mahasiswa/i. Dengan demikian kumpulan catatan kuliah ini tak dimaksudkan sebagai pengantar lengkap menyeluruh terhadap Kitab Suci Perjanjian Baru. Untuk melengkapi kuliah ini, para mahasiswa/i diwajibkan membaca buku-buku Rm. I. Suharyo, Pr.,Mengenal

Tulisan Perjanjian Baru. Sebagai buku pegangan mengenai latar belakang Teks PB dipakai

buku karangan John Stambaugh & David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula.

Terima kasih saya ucapkan kepada para mahasiswa/i yang turut aktif dalam proses belajar-mengajar ini maupun kepada mereka yang dengan penuh kesabaran telah mendengarkan uraian saya.

Yogyakarta, Desember 1998

Martin Suhartono, S.J.

BAB SATU

PEMBENTUKAN KITAB SUCI

Bagaimanakah prosesnya sampai sebuah KS itu terbentuk, dibukukan dan diterima suatu umat beragama? Berapa lamakah proses itu berjalan? Apa sajakah yang mempengaruhi sampai proses itu mengkristal dalam bentuk "teks konkret" yang kita miliki sekarang ini? Inilah pertanyaan-pertanyaan dasariah yang ingin diulas dalam bab ini.

A. Proses penulisan dalam terbentuknya KS

Bila ditanya, "Bagaimanakah terbentuknya KS Kristen?", orang umumnya spontan menjawab, "Wah, lama sekali prosesnya!" Orang segera terpikir akan tiga periode sehubungan dengan terbentuknya KS Perjanjian Baru, yaitu:

1) Masa hidup Yesus: Yesus berkarya dan bersabda (th. 0 - 30an M).

2) Masa hidup awal jemaat Kristen: setelah Yesus wafat dan bangkit (30an-70an): umat

Kristen hidup bersama (koinonia) dan berkumpul, merayakan (leiturgia), mewartakan (kerygma), mengajar (katekhein) misteri iman yang mereka terima dari Yesus. Pada umumnya segala bentuk pengajaran itu disampaikan secara lisan. Tapi sudah beredar pula surat-surat Paulus dan kemungkinan besar juga kumpulan sabda Yesus (Q:Quelle, bhs. Jerman, artinya “sumber”, disebut juga “logia”, kata-kata) yang dianggap merupakan sumber bagi Mt dan Lk.

3) Masa penulisan/redaksi Injil-injil (70an-100an): Yaitu berturut-turut Injil Mk (asal:Roma? waktu: thn. 70?), Mt (Syria-Palestina? 80-90?), Lk (Antiokhia? 80-90?), Yoh (Asia Kecil? 95-100?).

Jadi orang spontan terpikir akan kurun waktu sekitar tujuhpuluh tahun sejak Yesus wafat sampai akhir periode penulisan Injil terakhir (Yoh, thn. 100an). Orang teringat pula akan proses ratusan tahun yang membentuk KS Perjanjian Lama.

Berhadapan dengan ini, orang spontan pula membedakan proses pembentukan KS Kristen yang berangsur-angsur

dan lama itu dengan faham tentang turunnya KS Al-Quran yang seketika. Apakah ini tepat?

Memang kita terbiasa dengan perayaan peringatan Malam Nuzulul Quran (malam turunnya Al-Quran) sehingga timbul bayangan bahwa keseluruhan Al-Quran itu diturunkan dari sorga dalam waktu satu malam itu. Padahal, cobalah baca sembarang pengantar terhadap Al-Quran yang paling sederhana pun! Di sana biasa dijelaskan adanya tradisi yang umum diterima umat Islam bahwa KS mereka itu diwahyukan kepada Nabi Muhammad dalam kurun waktu 22 tahun, 2 bulan, dan 22 hari. Pada salah satu malam bulan Ramadan itu dirayakan turunnya ayat-ayat Quran untuk pertama kalinya. Di malam itu hanya diturunkan lima ayat pertama, yang diawali dengan ajakan "Bacalah ...", dan bukan keseluruhan ayat- ayat Al-Quran. Apa yang diterima oleh Nabi Muhammad itu tidak langsung ditulis dan dibukukan, melainkan disampaikan untuk dihapalkan secara lisan. Kadang ada pula yang kemudian dituliskan, namun secara tersebar-sebar. Baru kemudian setelah Nabi Muhammad wafat ada usaha untuk mengumpulkan ayat-ayat yang disampaikan oleh beliau menjadi satu buku. Ayat-ayat itu ada yang sudah dalam bentuk tertulis, meski masih tersebar-sebar, ada pula yang masih tersimpan dalam ingatan orang.

Jadi proses terbentuknya suatu KS, baik dalam agama Yahudi, Kristen, maupun Islam, memakan waktu cukup lama, yaitu sampai segala macam bentuk tradisi lisan dibakukan dalam tulisan dan dikumpulkan dalam suatu kitab.

B. Proses seleksi dalam terbentuknya KS

Bila orang secara sepintas lalu mendengarkan penjelasan tentang perbedaan antara terjadinya Al-Quran dan KS Yahudi/Kristen, orang spontan punya anggapan, “Lho, yang Islam kok lebih otentik?” Apakah yang dimaksudkan dengan "otentik" di sini?

Masalah otentisitas itu muncul bila orang, di satu pihak, menghadapi adanya macam- macam manuskrip dan kumpulan kitab (Kodeks) yang memuat tulisan-tulisan KS Yahudi/Kristen, dan di lain pihak mendengar bahwa hanya ada satu teks Al-Quran saja. Jadi “otentik” kerap diartikan sebagai hanya ada satu teks tunggal Al-Quran, seakan kitab tekstual yang dimiliki orang sekarang inilah yang diturunkan dari langit.

Orang yang tak mengerti kerap membayangkan bahwa Al-Quran itu diturunkan sekaligus sudah urut secara kronologis dari Surah 1 sampai Surah 114. Ternyata tidak demikianlah halnya. Proses pewahyuan Al-Quran dimulai dengan 5 ayat, yang kemudian - ketika percikan-percikan wahyu itu disusun menjadi satu kitab- dimuat sebagai 5 ayat pertama Surah 96 (ada 19 ayat) dan 22 tahun kemudian diakhiri dengan ayat-ayat yang disebut Surah 5.

Apakah betul tadinya hanya ada satu versi Al-Quran saja? Tidak. Pada zaman Nabi Muhammad dan kemudian di zaman Kalifah pertama (Abubakar) dan Kalifah kedua (Umar) beredar banyak ayat yang masih berupa hapalan atau pun dituliskan di atas daun palem (belum berupa buku), yang menurut tradisi didiktekan langsung oleh Nabi setiap kali sehabis Nabi menerima wahyu. Pada zaman Kalifah ketiga (Usman), dihimpunlah ayat-ayat yang tak terbilang banyaknya itu dari siapa saja, yang menyimpan secara tertulis maupun dalam hapalan, dan kemudian berdasarkan kriteria tertentu diseleksilah mana yang dianggap sah dari Nabi dan lalu disusun menjadi satu kitab. Surat yang dijadikan Surat 1 adalah Al-Fatihah (artinya: “Pembuka”) dan setelah itu urutan surat bukanlah secara tematis maupun kronologis, melainkan berdasar panjang surat: dari yang paling panjang ke yang paling pendek.Bagaimanakah dengan teks lain atau versi lain (bila tentang satu hal yang sama ada macam-macam versi ayat) yang tak diterima oleh Usman? Itu semua dimusnahkan, sehingga sejak saat itu hanya ada satu teks tunggal Al-Quran. Itulah yang umumnya diketahui. Tapi sebenarnya, ada versi lain yang berlaku di Mesir, ada juga versi lain yang beredar di Afrika. Kisah mengenai “kanonisasi” dalam zaman Usman ini adalah tradisi yang umum diterima, namun ada juga tradisi lain yang mengatakan bahwa ayat-ayat itu sudah terkumpul pada zaman Kalifah pertama (Abubakar), ada juga yang bilang pada zaman Kalifah keempat (Ali). Pendek kata, proses “turun”nya Al-Quran sampai menjadi satu kitab tidaklah sesederhana seperti diduga orang, mengenai hal ini silahkan baca dalam Encyclopaedia of Islam, pokok bahasan “Al-Kur’an”.

Hal yang sama terjadi juga dalam pengumpulan hadits Nabi Muhammad, yaitu kisah peristiwa-peristiwa dari hidup Nabi. Beredar 600.000an kisah, dan dari itu semua hanya sekitar 4000an yang dianggap sahih (jadi 1 di antara 150) (pendapat lain adalah 2000 dari 200.000an kisah). Sahih artinya dianggap sah, otentik, asli, sebagai "terjadi sungguh- sungguh" dan bukan laporan palsu si pencerita belaka. Jadi di sini pun tetap terlibat suatu proses seleksi yang ditentukan oleh orang-orang tertentu dengan kriteria tertentu juga. Apakah dalam agama Kristen ada yang dapat diperbandingkan dengan hadits ini.

LATAR BELAKANG SOSIO-HISTORIS KITAB PB

Uraian sebelum ini bermuara pada faham bahwa KS adalah Sabda Allah dalam kata-kata manusia. Kata-kata manusia itu selalu terkondisikan oleh latar belakang sosio-historis terbentuknya KS. Dari situ dapat disimpulkan bahwa untuk memahami KS perlulah dipahami konteks sosio-historis KS, yaitu situasi sosio-historis abad pertama kekristenan di wilayah Laut Tengah.

A. Antara Yahudi Palestina dan Yahudi Hellenis?

Bila kita membaca buku Sean Freyne yang diolah dan disederhanakan oleh I. Suharyo,Dunia Perjanjian Baru, akan kita dapati bab-bab terpisah: “Dunia Yunani”, “Dunia Romawi”, “Dunia Yahudi”. Namun janganlah kita membayangkan bahwa pada abad-abad pertama Masehi itu ada tiga dunia yang terpisah-pisah semacam itu. Setelah studi Martin Hengel,

Judaism and Hellenism (Philadelphia: Fortress Press, 1974; dua jilid) kini orang ragu-ragu untuk bicara mengenai Yahudi Palestina dan Yahudi Hellenis (Diaspora) seakan kedua dunia tersebut sama sekali berbeda dan terpisah. Studi Hengel mengetengahkan fakta bahwa keduanya saling bertumpang tindih karena pada masa itu ada proses Hellenisasi yang tersebar luas di wilayah Laut Tengah.

Tanah Palestina yang cuma secuil itu punya kedudukan strategis dari sudut politik, ekonomi, budaya. Dan sudah sejak dari zamanbaheula selalu menjadi ajang perebutan oleh bangsa Babilon, bangsa Persia, bangsa Siria, dan pada th. 333 BCE (Before the Common Era) oleh Aleksander Agung yang saat itu menguasai seluruh wilayah Yunani, Siria, Palestina, Mesir, Italia dll. Dalam zaman pemerintahan Aleksandaer Agung itu proses Hellenisasi itu meluas ke mana-mana. Palestina menghubungkan dunia Timur, Barat, Utara, Selatan.

Proses Hellenisasi itu tidak berjalan mulus. Di Palestina terjadi perlawanan hebat. Maklum tradisi Yahudi begitu mendarah-daging dan ketat. Di kota-kota besar, bahkan di Yerusalem, didirikan gelanggang-gelanggang olahraga (gymnasium).

Para pria Yunani biasa berlaga dan bergulat di gelanggang olahraga itu dengan telanjang bulat. Peristiwa itu sendiri tentu sudah suatu skandal, terlebih lagi bila hal itu dilakukan oleh para pria Yahudi yang keranjingan meniru tingkah laku orang Yunani dengan bertelanjang di muka umum. Tentu saja orang-orang Yahudi yang bersunat menjadi bahan tertawaan orang Yunani yang tidak bersunat! Lebih keterlaluan lagi tingkah Yahudi kaum helenis itu yang karena malu akan sunat mereka kemudian “memulihkan kulup mereka” (1 Makabe 1:14-15), entah bagaimana caranya! Dan dengan demikian menurut pengarang faham Yahudi, “murtadlah mereka dari perjanjian kudus” (1 Mak 1:15).

Perlawanan demi perlawanan terjadi (lihat 1 & 2 Mak). Lebih-lebih setelah bangsa Romawi menguasai Palestina sejak 63 B.C.E (ketika jendral Pompei menduduki Siria dan Palestina), memuncak dengan dihancurkannya Bait Allah oleh Titus tahun 70 CE, dan dihancurkannya Yerusalem dan diusirnya orang Yahudi dari sana pada tahun 135 CE. Yesus hidup dalam situasi kekerasan seperti itu. Maka pesan perdamaian Yesus tentunya terdengar aneh di telinga orang sebangsanya. Bahkan pada zaman ini pun banyak orang tak rela kalau Yesus itu dianggap tak termasuk golongan pejuang kemerdekaan. Berbagai hipotesa muncul tentang Yesus yang revolusioner model Che Guevara, termasuk golongan Zelot (golongan penentang penjajah). Dalam konteks ini juga dapat dimengerti perlawanan yang dihadapi Paulus dan jemaat kristen awal dari kalangan Yahudi sehubungan dengan sunat dan pewartaan kepada bangsa-bangsa lain.

B. Perbudakan dalam dunia Romawi-Yunani abad pertama:

Orang zaman ini pada umumnya menerapkan kategori pemikiran mereka terhadap masalah- masalah zaman dulu. Begitu juga dalam hal perbudakan. Kita sudah terbiasa berpikir bahwa perbudakan itu bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. Lebih-lebih karena kita punya gambaran tentang situasi perbudakan di Amerika Serikat. Di sana memang situasi itu amat gawat, sampai-sampai terjadi perang saudara antara pihak Selatan dan Utara. Apakah seperti itu pulakah situasi budak-budak zaman dulu di Dunia Romawi?

Para ahli tafsir KS sudah sejak lama kebingungan, mengapa Paulus justru memakai metafor “perbudakan” itu untuk menggambarkan “penyelamatan”. Ia berkata bahwa orang kristen dibebaskan dari dosa dan menjadi budak kebenaran (Rom 6:18). Bahkan dalam 1 Kor 9:19 ia menulis bahwa ia menjadikan diri “budak dari semua orang”. Ia kerap menyebut diri “budak Kristus”. Ada yang mengira bahwa istilah itu khas Paulus dan merupakan skandal besar bagi orang-orang Romawi. Ada juga yang berpendapat bahwa faham itu tak berasal dari dunia Romawi Yunani melainkan dari dunia Yahudi (PL). Ada yang mengira tradisi itu berasal dari kuil suci Delphi. Pada saat budak mau dibebaskan ia dijual kepada dewa. Jadi sebenarnya ia menjadi bebas total, hanya saja dikatakan menjadi milik dewa tertentu. Tapi mengapa peristilahan seperti itu begitu biasa pada Paulus? Dan tampaknya tak ada bantahan apa pun dari pihak lain terhadap Paulus? Seakan sudah memang seharusnya demikian?

Kalau hanya berpedoman pada tulisan para filsuf atau pun para pujangga, yang berasal dari kelas atas, memang dunia perbudakan tampak serba negatif dan dikecam karena memang budak-budak dibenci dan diremehkan oleh klas atas. Tapi kalau orang menyelidiki peninggalan-peninggalan tulisan dari kalangan bawah (batu nisan makam, kumpulan makna mimpi, novel-novel, dll.) maka muncul gambaran yang lain. Ternyata dunia para budak tak seburuk yang kita duga.

Ada beberapa faham umum tentang budak yang ternyata tak tepat. Sering dikira, para budak tak punya tempat tinggal sendiri, mereka tinggal di rumah tuan mereka. Tapi dari beberapa naskah kontrak kerja atau dagang; jelas dikatakan di situ bahwa kontrak ditandatangani di rumah para budak itu sendiri. Ternyata para budak punya uang dan harta kekayaan. Bahkan mereka kerap membebaskan diri sendiri dengan membayar harga tinggi yang dituntut tuan mereka; atau bahkan mempersembahkan batu nisan mewah bagi mendiang majikan. Budak dapat ditemukan bekerja dalam pekerjaan apa pun yang dapat dilakukan oleh orang merdeka: dokter, pengacara, tentara, penanggung jawab perusahaan, pembersih rumah dll. Selain budak kelas bawah, ada juga budak kelas menengah yang menjadi manager. Ini diketahui a.l. dari buku petunjuk mimpi karangan Artemidorus. Ada mimpi yang baik bagi budak kelas rendah, tapi mimpi yang sama punya makna buruk bagi budak kelas atas dan sebaliknya. Mimpi disalib baik bagi budak rendahan (artinya: bakal dibebaskan) tapi buruk bagi budak manager (artinya: akan dilucuti dari kekuasaannya).

Ternyata posisi budak memberi kemungkinan untuk naik pangkat dalam skala sosial. Budak orang terkenal atau kaya akan mencicipi juga kekayaan dan kedudukan itu. Budak orang kaya bisa dengan mudah mencari pekerjaan. Sebaliknya orang merdeka yang tanpa jaminan, akan menganggur dan sengsara. Dalam dunia itu hidup subur polapatron-client (pelindung dan klien). Menjadi budak juga dianggap sebagai sarana untuk merambat ke atas (mobilitas ke atas), apalagi setelah nanti dibebaskan. Tapi banyak budak lebih memilih jadi budak tapi kaya dan berpengaruh daripada merdeka tapi kere!

Karena itulah, tindakan Paulus yang menyuruh Onesimus kembali ke Filemon dapat dipahami dalam konteks abad pertama tersebut. Terlebih lagi, Paulus berusaha agar Filemon memperlakukan Onesimus bukan lagi sebagai budak melainkan saudara dalam iman. Dengan tindakan itu, Paulus mengerjakan tindakan pendamaian antara tuan dan budaknya, seperti Kristus sendiri yang mendamaikan Allah dan manusia (2 Kor 5:18).

Nah, dalam konteks dunia seperti itulah Paulus hidup. Maka bahasa positif tentang perbudakan memang bisa ditangkap dan diterima. Lihat Dale B. MARTIN, Slavery as Salvation. The Metaphor of Slavery in Pauline Christianity (New

sumber: MIK